Lihat ke Halaman Asli

Cita-Cita dan Air Mata

Diperbarui: 29 Maret 2016   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KALAU ANAK KECIL ditanya tentang cita-citanya, dengan gagah dan percaya diri ia akan mengatakan ingin jadi presiden, minimal pilot atau dokter. Siapapun dan anak siapapun memiliki keyakinan yang sama. Jawaban jujur anak kecil yang belum mengerti tentang kasunyatan sosial yang cenderung bengis dan tidak sehat. Anak tukang becak sanggup se-optimis anak menteri sekalipun dalam bercita-cita. Tetapi ketika usianya mulai remaja dan akalnya mulai bisa memahami realitas hidup, anak tukang becak akan berubah drastis soal cita-cita. Bahkan mungkin malu jika harus memiliki cita-cita.

Cita-cita anak kecil itu ibarat benih yang membutuhkan media untuk tumbuh dan menancabkan akarnya. Benih tidak tumbuh di atas angin, ia memerlukan tanah penyedia energi hidup. Begitu benih-benih tidak disediakan media tumbuh, matilah harapan tunas menyongsong matahari.

Hari ini anak saya masih dengan gagah menggenggam cita-cita sedemikian tinggi. Sebagai orang tua hati saya sedang cemas dan berdebar-debar menemani perjalanannya menjadi remaja. Saya tidak bisa membayangkan anak saya harus terpaksa menanggalkan cita-cita di pojok kenangan masa kecilnya setelah ia paham ternyata orang tuanya bukan siapa-siapa.

Untuk soal yang menyangkut anak, saya mungkin terlalu over romantik sehingga air mata kerap menjadi sahabat di saat-saat sepi ketika teringat wajah anak lelaki satu-satunya. Bertahanlah dengan cita-citamu Nak...! nyawa babakmu ini akan saya sedekahkan untuk masa depanmu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline