Lihat ke Halaman Asli

agus siswanto

tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Putin Sudah Tahu, Biden Tidak Bisa Berbuat Apa-apa

Diperbarui: 2 April 2022   12:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajah 2 pimpinan dunia yang tengah bersitegang Joe Biden dan Vladimir Putin. (sumber gambar: AFP via kompas.com)

Sekitar sebulan yang lalu, saat Putin mengobarkan api perang baru di Ukraina, pasti bukan sebuah gerakan militer tanpa perhitungan. Pengerahan ribuan pasukan, lengkap dengan berbagai sarana pendukung militer, pasti membutuhkan banyak biaya. Termasuk di antaranya sumpah serapah yang akan diterimanya dari berbagai negara atas aksinya, Putin pasti sudah memperhitungkan.

Secara logika sederhana, Putin ingin membangkitkan lagi situasi polarisasi saat Perang Dingin berlangsung selama hampir 5o tahun. Polarisasi yang memaksa dunia untuk terbelah dalam 2 blok, Barat dan Timur, secara disadari tetap diperlukan. Sebab gejala semacam ini, meski banyak mudharatnya, tetap diperlukan. Karena paling tidak ini akan menjadi sarana penyeimbang, sekaligus pengingat bagi blok siapa pun saat bertindak.

Tak dapat kita ingkari, setelah runtuhnya Uni Sovyet dan Tembok Berlin, keseimbangan itu hilang. Negara-negara yang semula berada di pihak Uni Sovyet, ramai-ramai "melarikan diri". Sebagian ada yang memilih merdeka, dalam artian tidak terikat siapa pun. Namun sebagian lagi memilih untuk mengikatkan diri pada bloi lawan Uni Sovyet pada saat itu, Blok Barat.

Lem komunisme dengan segala kekakuannya yang diterapkan Moskow selama ini, seakan sudah tidak ada artinya lagi. Moskow sudah tidak mempunyai kekuatan apa pun untuk menahan para mantan sekutunya untuk berpindah ke lain hati. Pertimbangan ekonomi mungkin yang mereka pikirkan. Karena secara jujur, perkembangan ekonomi negara-negara Blok Barat lebih menjanjikan daripada Blok Timur (komunis).

Lain dengan saat Perang Dingin masih berlangsung. Satu gerakan sekecil apa pun di negara sekutu Uni Sovyet, maka dengan cepat dapat dilindas dan dipadamkan. Dengan kekuatan militernya, Moskow dengan mudah memakas merek untuk kembali ke barisan.

Demikian pula dengan situasi global. Uni Sovyet dengan gagah berani menghadapi setiap gerakan offensif Amerika Serikat di belahan bumi mana pun. Setiap Amerika Serikat melakukan sebuah tindakan agresif, maka dapat dipastikan Uni Sovyet akan berada di pihak lawan. Demikian pula sebalinya jika Uni Sovyet yang melakukan. Situasi semacam inilah yang secara tidak langsung menciptakan keseimbangan di dunia ini.

Namun saat Uni Sovyet hancur berkeping-keping, dunia mengalami perubahan aturan yang luar biasa. Amerika Serikat, sang negara adi kuasa, tidak mempunyai lawan yang seimbang. Lawan yang akan selalu menghadang apa pun langkah Amerika Serikat. Maka tidak heran jika kebenaran di dunia ini hanya diukur dari kaca mata mereka. Apa yang di mata mereka tidak pas, berarti harus dihukum. Hal ini tampak sekali dalam beberapa konflik di Timur Tengah.

Serangan Rusia terhadap Ukraina pada akhir Februari 2022, dengan alasan apa pun tetap disalahkan. Mereka secara sah telah melakukan invasi terhadap kedaulatan negara lain. Dan Putin tahu itu. Jaminan untuk tidak melakukan invasi, atau pun menarik pasukannya hanya retorika saja. Buktinya sampai hari ini rudal, artileri, dan heli perang maupun pesawat tempur Rusia tetap menghujani Ukraina.

Kenapa Putin masih terus melakukan itu? Karena Putin yakin bahwa Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya tidak mungkin akan dengan gegabah menerjunkan pasukannya di wilayah Ukraina. Melakukan perlawanan langsung terhadap pasukan Rusia. Sekaligus mengenyahkan tentara Rusia dari tanah Ukraina.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline