Bagi siapa pun yang pernah ke Jogja, pasti pernah mendengar tentang Pegunungan Menoreh. Sebuah pegunungan yang menjadi setting cerita silat Jawa legendaris karya SH Mintarja, Api di Bukit Menoreh.
Pegunungan ini memanjang melintasi tak kurang dari empat wilayah, Sleman, Magelang, Kulon Progo, dan Purworejo. Jika diamati, tubuhnya mirip dengan punggung buaya raksasa yang memanjang.
Gambaran tampak sekali saat kita menikmati kemegahan Candi Borobudur. Pegunungan Menoreh tampak memanjang di belakang sang candi, seakan menjadi penjaganya.
Rute inilah yang saya ambil saya menghabisi weekend, kemarin. Setelah menghadiri hajatan salah seorang kerabat, saya ajak istri, yang orang asli Kulon Progo untuk naik ke Pegunungan Menoreh. Tujuannya sih hanya jalan-jalan sambil buang suntuk dengan kerjaan.
Pemandangan mencengangkan langsung kami dapatkan saat Vario kesayangan mulai merayap, mendaki punggung pegunungan. Saat itu saya ambil rute dari Girimulyo, Nanggulan.
Jalan aspal halus lengkap dengan garis marka sontak menyambut kami. Saya tentu saja tercengang, tapi yang lebih tercengang adalah istri saya yang orang asli Kulon Progo.
Dalam benak istri saya, tidak pernah terbayangkan suasana seperti ini. Pegunungan Menoreh yang terekam dalam benaknya, adalah Pegunungan Menoreh 25 tahun yang lalu. Saat itu dia dengan teman-temannya hiking ke Goa Kiskendo dari Kulon Progo. Sebuah wilayah yang sangat tidak layak untuk dikunjungi.
Jalan raya tak ubahnya gula kacang. Aspalnya hampir semua meringis, menyisakan lobang-lubang yang mengerikan bagi siapa pun. Saat musim hujan datang, jalan berubah menjadi kali-kali kecil dengan air deras.
Sementara di kiri-kana jalan, bukit-bukit rawan longsor, siap menerkam siapa pun. Dan yang lebih mengerikan adalah ancaman penyakit malaria, karena lingkungan yang kurang bagus.