Lihat ke Halaman Asli

agus siswanto

tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Senjakala Pedagang Koran Eceran

Diperbarui: 7 April 2021   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: kumparan.com

Mungkin masih lekat dalam ingatan kita beberapa tahun lalu, saat berada di lampu traffic light. Beberapa orang bahkan anak-anak berlari-lari menawarkan koran atau tabloid yang mereka bawa. Dan kemudian dengan tergesa kita merogoh saku untuk menukarkan dengan satu atau dua lembar koran.

Mungkin juga ingatan kita kembali terbongkar, saat pagi-pagi di hari libur kita bergegas menuju ke perempatan jalan. Atau mendatangi beberapa kios penjual koran. Dan kembali tangan kita mengulurkan beberapa lembar koran untuk ditukar dengan koran atau tabloid yang kita inginkan.

Dua kejadian itu semata-mata untuk mendapatkan sejumlah informasi yang kita butuhkan. Keingintahuan itulah yang membuat kita harus meluangkan waktu dan merelakan sejumlah uang tersebut.

Namun saat ini, semua tinggal kenangan. Kemajuan teknologi komunikasi yang demikian luar biasa, mengubah segalanya. Dari benda kecil tipis yang disebut gawai, segala informasi yang kita butuhkan telah tersedia. Tanpa harus bergegas, bahkan tanpa harus ganti baju mau pun pindah tempat, kita dapatkan semuanya.

Kenyataan semacam inilah yang membuat pandangan mata ini seakan layu, manakala saya temukan pedagang koran di depan mobil saat mengisi BBM di sebuah SPBU. Setiap kali saya mampir di SPBU tersebut, dia berdiri dengan setia di samping mesin pengisi BBM. Pakaian dan topi lusuh melengkapi penampilannya. Di pelukannya terdapat setumpuk koran dan tabloid yang dijajakannya. Satu lagi yang membuat saya sedih, ditawarkannya koran itu saat saya pulang kantor, jam 5 sore!

Jujur terjadi pergulatan batin di hati saya. Membelinya untuk berbagi sedikit rejeki, sementara saya tidak membutuhkan koran tersebut. Atau melewatinya, karena memang tidak membutuhkannya.

Muncul dalam benak saya, berapa rupiah yang telah dia dapatkan. Ketika setiap sore saya lihat, barang dagangan yang dibawanya masih setumpuk, alias belum laku. Terbayang pula dari mana dia makan dan menafkahi keluarganya.

Berkaca dari kenyataan ini, modernisasi yang kini tengah berlaku memang dapat menghancurkan periuk siapa saja. Bagi pemilik media, meskipun terdampak mereka mampu melakukan inovasi. Langkah banting setir pindah ke dunia digital menjadi solusi yang paling masuk akal. Mengandalkan pemasukan dari pembaca online, merupakan pilihan yang terbaik. Walaupun tentu saja harus ada sejumlah modal dan inovasi yang mereka lakukan.

Namun bagi para penjual koran eceran, mereka dihadapkan pada kenyataan pahit. Berpalingnya para penerbit koran ke dunia digital, berarti pula memaksa periuk mereka harus tidak berasap lagi. Lembaran rupiah yang selama ini bisa mereka kumpulkan, melayang entah ke mana.

Lembah Tidar, 7 April 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline