Lihat ke Halaman Asli

agus siswanto

tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Desakralisasi Ujian Nasional

Diperbarui: 11 Februari 2020   12:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

news.okezone.com

Pelaksanaan Ujian Nasional untuk tingkat SMP dan SMA tinggal 2 bulan lagi. Ada yang berbeda dengan suasana tahun-tahun sebelumnya. Dimana saat-saat begini pasti akan muncul perdebatan yang tanpa ujung mengenai keberadaan Ujian Nasional. Masing-masing pihak mengusung setumpuk argumen untuk meyakinkan pihak yang lain. ketok palu mas Menteri nampaknya yang menjadi penyebab. Tahun ini adalah tahun terakhir pelaksanaan UNBK. Dan mulai tahun depan UNBK akan diganti dengan bentuk assesmen yang sampai hari ini belum jelas bentuknya.

Terus terang, penulis termasuk kelompok pendukung agar Ujian Nasional tetap dilaksanakan. Dan termasuk mendukung agar nilai Ujian Nasional juga disertakan sebagai formula kelulusan bagi setiap peserta didik. Permasalahan tentang prosentase yang dipergunakan, silahkan saja. Pada prinsipnya, nilai Ujian Nasional tetap diperhitungkan, tidak seperti saat ini. Kondisi saat ini Ujian Nasional hanya dihitung pada sisi keikutsertaan peserta. Sehingga berapapun nilai yang dihasilkan, sama sekali tidak diperhitungkan.

Dukungan terhadap keberadaan Ujian Nasional, tentu saja bukan dukungan yang tanpa dasar. Sebagai pihak yang langsung berhadapan dengan peserta didik, efek dari perubahan kedudukan Ujian Nasional sangat penulis rasakan. Sikap acuh tak acuh peserta didik terhadap pelaksanaan Ujian Nasional nampak sekali.

Berbagai upaya sekolah untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi Ujian Nasional tidak bersambut. Bahkan jam-jam tambahan yang biasanya antusias diikuti, termasuk berbagai bimbingan tes tidak menarik minat mereka sama sekali. Dan secara nalar hal ini adalah hal yang logis. Bagaimana tidak, untuk apa mereka harus bersusah-payah hanya untuk sesuatu yang tidak menentukan.

Hal yang lebih lucu lagi adalah klaim dari pihak terkait mengenai pelaksanaan Ujian Nasional tahun yang lalu. Dikatakan bahwa tingkat kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional menurun tajam, demikian juga terhadap keadaan kejiwaan peserta didik. Para peserta didik tidak mengalami tekanan secara psikologis dalam menghadapi Ujian Nasional.

Klaim-klaim semacam ini jelas sebuah klaim yang menggelikan. Secara logika untuk apa mereka harus melepaskan sejumlah uang untuk mendapatkan kunci jawaban Ujian Nasional? Sedangkan hasil Ujian Nasional tidak menentukan kelulusan mereka. Demikian pula untuk apa mereka harus berdarah-darah untuk sesuatu yang tidak menentukan.

Kondisi di lapangan menjelang pelaksanaan Ujian Nasional justru sangat memprihatinkan. Peserta didik boleh dibilang kehilangan motivasi untuk belajar. Dalam benak mereka, ketika urusan kelulusan diserahkan pada masing-masing satuan pendidikan bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Mereka yakin pasti lulus. Merekapun telah berhitung bahwa sekolah yang mereka tempati tidak akan berani melakukan langkah-langkah yang membahayakan diri sendiri.

Nah, jika kondisi semacam in yang terjadi apa yang akan kita dapatkan pada generasi berikutnya. Berbagai kemudahan yang diberikan pada mereka justru membuat mereka menjadi generasi yang loyo. Kemudahan dalam mengakses pendidikan dengan sekolah gratis, mencari sekolah dengan sistim zonasi bahkan kelulusan yang relatif lebih mudah, justru akan menjadi bom waktu pada suatu ketika.

Bekal kompetensi mereka yang tidak memadai karena kurangnya motivasi belajar, bukan tidak mungkin justru membuat mereka sulit.bersaing dalam mencari pendidikan berikunya ataupun di lingkungan pekerjaan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline