Simply is the best. Tulisan itu ada pada jaket seorang kenek angkot yang saya naiki. Sederhana adalah terbaik. Kenek itu tetap dengan penuh semangat dan senyum menawarkan jasanya pada calon penumpang yang tidak semua mau naik angkotnya.
Saat saya di dalam angkot tersebut baru ada dua penumpang. Tak ada yang istimewa dengan angkot yang biasa membawa penumpang semua lapisan itu, yang sebagian besar saat pagi hari adalah bakul atau emak-emak yang mau ke pasar dan para pelajar yang hendak ke sekolah.
Angkot tua yang panas dengan mesin menderu yang tidak nyaman didengar serta tidak ada musik apalagi AC. Satu-satunya penyejuk adalah angin yang masuk dari pintu dan kaca yang terbuka.
Angkot sekarang bukan lagi alat transportasi yang menarik untuk dinaiki. Sebagian besar masyarakat telah nyaman dengan sepeda motor walau second atau kreditan. Sebagian lainnya yang merasa mampu secara ekonomi sekarang lebih nyaman lagi dengan mobil pribadi juga mungkin second atau kreditan. Penumpang angkot telah jauh berkurang sementara jalanan semakin ramai dan macet dengan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang.
Jumlah angkot yang sama dengan penumpang yang jauh berkurang menyebabkan antar angkot terjadi persaingan berebut penumpang. Lazim dijumpai sekarang laju angkot yang tidak karuan, ngebut saling salip demi kejar setoran.
Jalanan bagai sirkuit balapan. Kenyamanan penumpang menjadi nomor kesekian yang terpenting laju cepat dan meraih banyak penumpang. Gak percaya? Naiklah angkot jurusan Purwokerto--Wonosobo via Purbalingga--Banjarnegara. Rasakan sensasi, betapa ngebut dan balapan dapat memacu adrenalin dan mengusik kenyamanan berkendaraan.
Menurut saya ada paradigma yang kurang tepat terkait perangkotan ini. Dengan balapan penumpang menjadi tidak nyaman. Naik angkot ibarat sport jantung. Hingga ada anekdot yang menyatakan bahwa sopir angkot dapat pahala gedhe karena mampu membuat orang lain alias penumpang yang gak rajin berdoa tetiba menjadi sholih dan khusuk berdoa karena angkot yang ngebut itu lebih mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.
Secara psikologis, orang hidup yang dicari adalah kenyamanan dan penumpang yang tiap hari dipaksa sport jantung itu pada akhirnya akan mencari alternatif lain. Alternatif yang paling mudah tentunya kredit kendaraan bermotor yang semakin hari menawarkan banyak kemudahan, mulai dari DP 0 Rupiah hingga cicilan murah.
Endingnya, angkot semakin ditinggal penumpang. Mungkin akan berbeda cerita jika pengusaha angkot menomorsatukan penumpang selaku pelanggan setia. Kenyamanan dan keamanan penumpang musti menjadi prioritas dalam memberikan layanan. Jalanan bukan arena balapan dan kebut-kebutan. Sinergitas antara pengusaha dan kru angkot, pemerintah, baik DLLAJR, Disperindagkop, maupun Kepolisian sangat penting. Masalah perangkotan ini tidak mungkin selesai jika hanya dipikirkan secara parsial antar elemen terkait.
Permasalahan ini sesungguhnya menyangkut hajat hidup orang banyak dan terkait erat dengan keberhasilan pembangunan dalam memanusiakan manusia. Masalah kesemrawutan angkot dan juga jalanan yang makin tidak aman bukan hanya masalah perkotaan tetapi masalah semua warga negara pengguna jalanan dalam rangka mobilitas diri sebagai manusia pembangunan.
Sederhana adalah terbaik. Filosofi ini harusnya menjadi landasan dalam memberikan layanan terbaik bagi masyarakat untuk mencapai kesejahteraannya. Pengusaha angkot seharusnya tidak terlalu membebani kru dengan setoran yang mencekik. Masalah setoran dapat diatasi dengan berhitung secara bijak yang menguntungkan kedua belah pihak baik pengusaha maupun kru.