Lihat ke Halaman Asli

agus riyan oktori

Hidroponiker Magang

Puisi | Bunga Desa, Mengapa Tak Sesakral Dulu?

Diperbarui: 16 Maret 2019   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustrated by: pixabay.com

petang yang lalu, begitu suara ayam terdengar berkokok lantang, dirimu menyegerakan terjaga dari lelapnya tidur dalam kelambu kain warisan leluhur

segera dirimu tunaikan fardhunya ibadah shalat shubuh, lalu bergegas menuju anak tangga dapur sembari memboyong keranjang piring kotor sisa semalam menuju pancur buatan tetangga

tak lupa, perapian kayu di atas setumpuk tanah dengan dinding pelupuh telah dirimu sediakan untuk sekadar memasak air kebutuhan sehari-hari

petang kemarin hal serupa belum terlalu banyak berubah, dirimu masih melakukan aktifitas rutin seperti biasanya

hanya saja berkembangnya ilmu dan pengetahuan yang dihasilkan manusia telah memudahkan dan tidak terlalu merepotkan seperti dulu

petang ini semuanya berubah dengan situasi sebaliknya, ayam berkokok justru melelapkan tidurmu diatas pembaringan empuk bulu angsa

bersolek dan merias diri demi terlihat menarik oleh mata-mata yang melihat jadi ritual sakral!
meskipun tidak dilarang, tapi dirimu telah menenggelamkan ke jurang terdalam esensi dari nilai estetika sebenarnya

mengapa? mengapa? semua tak sesakral dulu, wahai bunga desa!

curup
16.03.2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline