Lihat ke Halaman Asli

Renaissance dan Konvensi

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ribut-ribut penyelenggaraan Konvensi Capres Partai Demokrat dan Konvensi Capres Rakyat, mengingatkan ku pada konvensi Renaissance.

Partai Golkar pernah melakukan konvensi capres pada 2004. Tapi Renaissance juga pernah melakukan konvensi pada 2006. Setidaknya, Renaissance lebih maju sedikit ketimbang Partai Demokrat, hehehe..

Periode kepemimpinan Renaissance 2006-2007, di awal sejak terpilih, langsung dihadapkan pada suksesi. Hampir setiap tahun seperti itu. Kita harus suksesi Korkom, Intra, hingga Pesmaba.

Dulu, kovensi ini lahir karena berbagai kegelisahan kader. Konvensi yang kita utamakan saat itu adalah untuk pimpinan lembaga intra, baik HMJ, BEM, hingga Presma.

Ya, kegelisahan saat itu adalah banyak kader-kader Renaissance yang ketika terpilih di intra cenderung ‘meninggalkan’ komisariat. Mulai dari tidak aktif di agenda komisariat hingga benar-benar keluar dari komisariat.

Kekesalan pun tidak bisa dihindari. Banyak yang benci, dan akhirnya terjadi permusuhan sesama kader. Kader komisariat benci dengan kader di intra, begitu juga sebaliknya. Padahal, saat pemilu, semua berjibaku siang dan malam, beradu argumen hingga terkadang fisik dengan organ yang lainnya. Tapi, saat sudah jadi, seoalah terlupakan begitu saja.

Banyak asumsi masing-masing kader. Ada yang bilang, kader komisariat di lembaga intra itu bekerja. Kalau kerjanya bagus, tentu Renaissance juga bagus. Alasan lainnya, kader di lembaga intra, sudah bekerja dan lebih baik komisariat menghibahkan kadernya di intra untuk bekerja dan konsen disana.

Ya namanya Renaissance, tidak ada yang mau ngalah, selalu berdebat. Tidak ada kebenaran yang mutlak, yang ada hanya klaim kebenaran. Itu prinsip yang dipahami. Jangankan soal seperti ini, untuk membeli makan saja itu debat dulu.

Kembali soal konvensi 2006. Beberapa posisi yang diperebutkan, karena banyak peminat. Seperti Ketua BEM, Ketua HMJ, itu adalah posisi yang tidak sedikit kader tertarik. Tapi pola konvensi, juga ada campur tangan komisariat. Hanya, walau tidak ada hitam di atas putih, tapi campur tangan ini tidak mutlak.

Beberapa hari digodok oleh beberapa pimpinan komisariat dan senior, akhirnya muncul beberapa nama, untuk posisi tertentu. Dari bawah, Ketua HMJ Ilmu Komunikasi atau Himakom itu ada namanya Arif (orang Kalimantan), HMJ Ilmu Pemerintahan Khikmawanto (arek Lamongan), untuk Presma Joko Pitoyo, Ketua Umum Renaissance 2005-2006. Beberapa posisi lagi masih belum terpetakan siapa saja.

Untuk posisi Ketua BEM atau Gubernur Mahasiswa, ada beberapa yang menyatakan siap.

Saat hari H atau pelaksanaan konvensi dilakukan, ramai komisariat oleh para kader. Untungnya, komisariat agak besar, jadi bisa menampung. Saat itu, komisariat Renaissance ada di gang 15B Tlogomas, di belakang Revolusi. Lokasinya di ujung bawah, gelap dan jalannya agak kecil.

Beberapa kader yang baru aktif, lama gak muncul pun hadir. Rapat konvensi dimulai. Mulai dari tingkat HMJ.

Himakom muncul nama Arif. Dia orangnya cerdas dan kemauan membacanya sangat tinggi. Teman-teman seangkatannya juga tidak menafikkan itu. Bahkan, dalam sejumlah lomba debat yang dilakukan oleh Korkom UMM, kelompoknya Arif ini pasti juara satu. Dia juga mulai vokal di tingkatan cabang. Bahkan, saat Muscab pernah menjadi presidium sidang.

Seperti diduga sebelumnya, Arif akan aklamasi. Karena seangkatan dia, tidak ada yang berani, beradu argumen. Soal IP, jangan ditanya. Harus diakui, saya juga kagum dengan anak ini. Saya bilang, dia akan menjadi kader dari Ikom yang bisa diharapkan di komisariat. Sebab, jarang kader Ikom yang bisa eksis di komisariat.

Saat hendak ditetapkan Arif sebagai calon tunggal yang akan kita ajukan, tiba-tiba muncul suara seorang immawati. Wajahnya terasa asing tapi sebenarnya akrab. Itu karena dia tidak ikut DAD di Renaissance tapi di komisariat lain. Akrab karena kakaknya juga pimpinan komisariat FKIP.

Ya, dia adalah Korry Elyana, immawati yang tomboi dan slengean. Maklum anak band dan anak JUFOC, jadi rada gaul. Celana robek-robek ala rocker. Itulah dinamika di Renaissance. Mulai dari jilbab panjang, jilbab biasa, tidak berjilbab tapi pakaian longgar, hingga yang pakaian ketat, semua tersaji di Renaissance.

“Kamu itu lho rif (Arif, red) banyak yang enggak suka. Aku kan sekelas sama kamu. Anak-anak pada gak suka ama kamu,” kata Korry lemah lembut, kemayu seperti putri ayu.

Sontak, pengakuan lugu dari Korry ini membuat situasi berubah. Beberapa pertanyaan ke Korry dari senior akhirnya bermunculan. Ketakutan kita, walau dia pintar tapi kalau tidak disukai, tidak akan terpilih. Era saat itu, di Ikom tidak perlu orang pintar, asalkan dia ganteng, populer dan baik, sudah modal yang cukup.

Arif juga tidak disukai beberapa teman di kelas yang lain. Ini yang memberatkan. Akhirnya, keputusan di pending. Beberapa elit Renaissance saya ajak bicara. Ini persoalan serius, bukan soal kapabilitas tapi elektabilitas.

Akhirnya, dalam rapat terbatas itu, kami ambil beberapa opsi. Kalau Arif dipaksakan maju, susah untuk menang, walau dia ditempatkan di nomor 2. Berarti pilihannya tidak mencalonkan Arif.

Kalau seperti itu, siapa orangnya?

“Kenapa kita tidak ajukan Korry aja? Dia terkenal, banyak teman di Ikom, dan anak JUFOC, pasti bisa meraup suara,” kata seorang elit Renaissance.

Secara elektabilitas memang Korry tinggi. Tapi bagaimana dengan kapasitas? Dia tidak teruji. Apalagi, ini soal lembaga intra. Korry lebih interes soal musik dan foto. Bukan seminar keilmuan, formalitas yang biasa dilakukan di HMJ.

Kami kembali mencari opsi. Pilihannya, menempatkan Korry di nomor dua. Harus ada seseorang yang bisa memainkan peran nanti di HMJ. Korry untuk menarik voters atau pemilih saja.

Korry bersedia dengan skema itu. Walau agak dipaksa, dia siap di nomor dua. Akhirnya, kita memutuskan Fahmi (Ikom 2004 asal Probolinggo). Fahmi bersedia, dan kita sepakat mengusung duet Fahmi-Korry dan menyingkirkan Arif.

Saat itu, tidak terpikirkan oleh kami bagaimana perasaan Arif. Memang, ini keputusan yang terlalu jahat bagi dia. Di hadapan rapat, Arif tidak masalah dia tidak jadi. Namun, sore itu, terakhir kali kami melihat dia ke komisariat. Besok dan seterusnya, dia memilih menyeberang. Mungkin karena nafsu politiknya dan nafsu jabatan, dia memilih berada di seberang bersama kompetitor.

Arif dapat posisi yang bagus, calon Wakil Gubernur Mahasiswa (Wagubma). Ya, lebih tinggi ketimbang calon Ketua Himakom. Keputusan yang salah dari dia, karena dia kalah total. Semenjak itu, karir politik dan organisasi dia habis. Sayang sebenarnya, tapi itulah. Orang pintar tidak selamanya bisa diandalkan. Yang dibutuhkan adalah tidak ego dengan kepintarannya. Tapi kepintaran itu harus dibagi, istilahnya kesalehan sosial. Arif hilang ditelan jaman, apalagi selama itu, Renaissance sangat berjaya dari tingkat HMJ hingga Fakultas.

Kembali ke konvensi. Kini untuk posisi Ketua BEM. Ada beberapa calon yang siap. Mereka adalah Fitra Kurniawan (IP 2003), Farida (Ikom 2004), Rustam (Almarhum, IP 2004). Mereka memaparkan visi-misi. Setelah itu, kembali elit Renaissance dan beberapa senior mempertimbangkan ini.

Persoalannya sebenarnya klasik. Ini terkait tingkat keterpilihan. Untuk Fitra, mungkin agak susah. Walau dia senior, ganteng, tetapi tidak mencerminkan elektabilitas di semua jurusan. Hanya populer di rekan-rekan seangkatan. Belum tentu rekan-rekannya itu ikut pemilu.

Kandidat kemudian muncul dua orang. Almarhum Rustam dan Farida. Keduanya, punya kelebihan dan kekurangan. Almarhum terlalu reaktif, tidak populer di basis massa yang banyak yakni di Ikom. Farida, kemampuan memimpin masih belum teruji, apalagi dia Kabid Kader Renaissance, tentu akan terpecah.

Walau sebenarnya aku tahu motif Farida. Dia ingin menjadi Ketua BEM karena sesuai dengan bidang Kader. Dia sempat meyakinkan ku untuk aktif di kedua bidang. Dia juga beralasan agar kader di intra tidak lari karena ada dia sebagai Ketua BEM. Masuk akal dan aku setuju.

Kita juga saat itu mengukur kemampuan lawan. Istilah salah satu teori perang Tsun Ju, intinya lihat kemampuan lawan mu. Salah satu kandidat lawan adalah sosok yang populer juga, anak Ikom 2003. Rina namanya.

Dia sempat aktif di Renaissance. Tidak pernah ikut DAD tapi kedekatan dengan Renaissance tidak bisa diragukan lagi. Tapi kini dia memilih berseberang. Beberapa immawan ganteng yang sempat dekat dengan dia, sempat membujuk Rina. Tapi dia tetap bersikukuh. Tidak ada piliha lain selain kata lawan.

Tapi bukan keputusan saya saja. Ini keputusan kolektif dan banyak elit yang juga memberi pertimbangan. Farida punya basis massa. Almarhum juga punya kemampuan membendung lawan-lawan kita. Akhirnya, diputuskan Almarhum calon Gubernur dan Farida Wagubnya.

Keputusan sulit itu diambil. Walau aku tahu Farida pasti kecewa. Orang Ikom selalu disepelehkan, dianggap tidak mampu. Ya wajar muncul itu. Waktu itu, sentimen jurusan sangat kuat. Ada yang tidak dewasa menyikapinya. Ada juga yang dewasa menyikapinya, dan Farida adalah salah satu immawati yang dewasa menyikapinya.

Perjuangan yang tidak gampang. Walau melawan Rina, kita berhasil menang. Suksesi Himakom juga demikian. Seperti sudah diprediksi, kita menang telat. Korry berhasil menjadi Wakil Ketua Himakom. Perempuan tomboi, slengean, rocker. HMJ IP juga demikian. Tidak ada perlawanan karena Khikmawanto kuat dengan geng-gengnya.

Mengingat mereka, kini Farida sudah menikah dengan Luthfi, kader Hukum yang tinggal di komisariat Renaissance. Almarhum Rustam, insya Allah Desember ini dia akan ultah, ku kirimkan surah Alfatihah dan doa untuk mu sobat, semoga istri dan dua anak mu yang kau tinggal, menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi keluarga, agama dan bangsa.

Korry, alhamdulillah. Sekarang bukan Korry yang dulu lagi. Kini lebih cantik dibalut jilbab, alhamdulillah. Senior saya di Pasca Sarjana Univ.Muhammadiyah Jakarta, kini sedang mengandung alias hamil tua. Dia juga sudah siap-siap hengkang dari Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, dan akan menjadi dosen di Muhammadiyah Tangerang. Suaminya, itu Khikmawanto, biasa dipanggil Aming. Mereka membina keluarga kecil yang harmonis, alhamdulillah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline