Lihat ke Halaman Asli

Gairah Transaksi Online di Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu hasil yang ingin dicapai dari masuknya Internet ke berbagai pelosok Indonesia adalah transaksi perdagangan. Melalui Internet, rantai distribusi bisa dihemat. Bahkan, pembeli dan penjual bisa berhubungan langsung tanpa melalui perantara. Desa PINTER alias Desa Punya Internet memungkinkan penduduk di desa mendapatkan akses Internet, jika desa tersebut belum terjangkau oleh prasarana telekomunikasi. Namun Internet sendiri hanyalah media akses. Di dunia nyata. Internet bisa dianalogikan sebagai jalan yang menghubungkan antara rumah dengan pasar. Lalu, bagaimana dengan pasar alias tempat berjualan di Internet itu sendiri?

Ada dua hal utama, selain Internet, yang dibutuhkan agar bisa membentuk sebuah sistem transaksi di Internet, yaitu sistem transportasi barang dan sistem pembayaran. Bagaimana dengan barang digital? Jika bandwidth Internetnya memungkinkan, tentu saja barang digital bisa dipindahkan langsung lewat Internet. Namun ketika kita bicara tentang Indonesia, mungkin masih lebih cepat jika barang digital tersebut di-copy ke media cakram optik seperti DVD lalu dikirim melalui pos. Tanpa adanya sistem transportasi yang bisa dipercaya, masyarakat juga akan ragu untuk melakukan transaksi online.

Namun sebelum barang bisa dikirim, tentunya proses pembayaran sudah harus diselesaikan dulu. Di negara-negara maju, dengan dukungan perlindungan hukum yang jelas ditambah adanya perlindungan asuransi, kartu kredit sudah sangat umum dipergunakan sebagai alat pembayaran. Jadi, sejak tahun 90-an ketika itu belum ada UU ITE -pembelian barang dari Indonesia melalui Internet sudah marak terjadi.

Sayangnya, banyak oknum lokal yang memanfaatkan info kartu kredit curian untuk melakukan transaksi. Ini bukan hal kecil. Pasalnya, dalam setahun terjadi transaksi penipuan kartu kredit dari Indonesia sebesar Rp60 milyar. Ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga setelah Amerika dan Kanada untuk nilai transaksi penipuan kartu kredit. Namun jika dihitung rasio antara total nilai transaksi dengan transaksi penipuan, Indonesia berada di peringkat pertama di seluruh dunia. Akibatnya mudah diduga, sudah banyak tempat berjualan internasional seperti Amazon ataupun beberapa penjual individual di eBay yang menolak traksaksi kartu kredit dari Indonesia.

Di Indonesia, kartu kredit masih belum umum digunakan sebagai alat transaksi. Di perkotaan kartu kredit memang sudah mulai biasa dipakai. Tapi di pelosok, cash is king. Ini juga penyebab tempat berjualan di Internet semacam Wetmarket yang pernah dibangun oleh grup Lippo di awal tahun 2000-an tidak sukses. Konsep Wetmarket meniru toko di negara maju yang berjualan melalui Internet, mengandalkan pembayaran kartu kredit, dan sudah didukung armada kurir. Namun, selain kartu kredit masih belum menjadi alat transaksi utama, cakupan jaringan Internet di Indonesia pada waktu itu masih belum seluas sekarang.

Jadi, harus ada skema pembayaran lain yang lebih umum dan bisa dilakukan di Indonesia jika memang ingin menguasai transaksi online di Indonesia. Saya lihat sudah mulai bermunculan solusi dari berbagai bank, seperti BCA Klikpay dan Mandiri Clickpay, dua bank yang jaringannya besar di Indonesia. Nasabah yang belum bisa memanfaatkan dua solusi ini masih bisa menggunakan sistem konvensional, yaitu dengan melakukan transfer bank, yang semakin mudah dengan makin banyaknya bank yang menyediakan layanan online banking.

Kemudahan melakukan pembayaran ini dibarengi dengan bermunculan-nya berbagai website online shopping, antara lain Blibli, Tokone, dan Lazada. Pemain lama dengan muka baru juga muncul, seperti Multiply dan Plasa. Tentunya, dukungan dari pemerintah tetap harus ada agar bisa memupuk kepercayaan masyarakat untuk berani melakukan transaksi. Dukungan itu bisa dalam bentuk peraturan yang jelas seperti UU ITE atau mungkin juga badan khusus yang bisa menjadi penengah jika terjadi masalah dalam transaksi online ini.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat di perdesaan? Hampir semua website online shopping mendukung konsumerisme, sekarang sudah banyak website yang model bisnisnya menampung penjual untuk menjajakan dagangannya di Internet. Mungkin ada baiknya pembuatan fasilitas Desa PINTER melibatkan website-website ini untuk mengajarkan bahwa kini mereka bisa berjualan di Internet dengan calon pembeli potensial dari seluruh penjuru Indonesia atau malahan juga bisa dengan menghadirkan para teknisi IT untuk mengajarkan nyekrip membuat blog atau website. Kini, tinggal memikirkan cara pembayaran yang bisa dilakukan secara lintas negara jika ingin mengembangkan sistem transaksi ini agar bisa menjangkau calon pembeli dari seluruh dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline