Peralihan musim kerap kali dicirikan dengan meningkatnya intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem seperti hujan dengan intensitas lebat yang kadang disertai petir dan angin kencang berdurasi singkat serta puting beliung dan hujan es. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah merilis bahwa awal musim kemarau di mayoritas wilayah Indonesia tahun ini akan tiba lebih awal dari sebelumnya dengan curah hujan yang turun selama musim kemarau diprediksi akan normal hingga lebih kering dibandingkan biasanya. Lebih lanjut, sebagian besar wilayah di Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT diprediksi akan mulai memasuki musim kemarau pada bulan April 2023. Mengacu hal tersebut, periode peralihan musim dari musim penghujan ke musim kemarau di wilayah-wilayah tersebut akan mulai pada bulan Maret 2023 ini, sehingga perlu peningkatan kesiapsiagaan dan kewaspadaan menghadapi fenomena cuaca ekstrem beserta dampaknya.
Mengutip laporan dari XDI (Cross Dependency Initiative) yang menyebutkan bahwa pusat-pusat ekonomi di seluruh Asia menghadapi risiko kerusakan tertinggi akibat cuaca ekstrem dan perubahan iklim. Empat provinsi di Pulau Jawa yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan DKI Jakarta masuk ke dalam peringkat 100 besar dalam resiko kerusakan tertinggi akibat cuaca ekstrem dan perubahan iklim.
Jawa Timur menempati peringkat ke-23, disusul Jawa Barat posisi ke-24, lalu Jawa Tengah di posisi ke-31, sedangkan DKI Jakarta berada di peringkat ke-91. "Dalam hal skala keseluruhan risiko kerusakan dan dalam hal eskalasi resiko, Asia memiliki kerugian terbesar seiring meningkatnya cuaca ekstrem perubahan iklim. Di sisi lain, Asia juga berpotensi mendapat keuntungan terbesar dari pencegahan memburuknya perubahan iklim dan mempercepat investasi ketahanan iklim," tutur CEO XDI, Rohan Hamden.
Beberapa dampak cuaca ekstrem yang signifikan dalam bidang ekonomi adalah kerusakan infrastruktur. Cuaca ekstrem dapat merusak infrastruktur seperti jalan raya, jembatan, bangunan, dan fasilitas publik lainnya. Hal ini memerlukan biaya yang siginifikan untuk perbaikan dan pemulihan yang dapat membebani pemerintah atau sektor swasta.
Selanjutnya kerugian pada sektor pertanian. Kekeringan atau banjir dapat merusak tanaman dan ternak, yang dapat menyebabkan kerugian signifikan. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan harga komoditas makanan dan produk pertanian lainnya. Cuaca ekstrem juga menyebabkan gangguan pada sektor transportasi dan distribusi barang, yang dapat mempengaruhi pasokan dan permintaan. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan harga barang dan jasa serta penurunan produksi.
Cuaca ekstrem dapat pula merusak rumah dan properti yang memerlukan biaya pemulihan cukup signifikan bagi pemilik rumah dan bisnis. Hal ini tentu berdampak pada meningkatnya biaya asuransi untuk bisnis dan pemilik rumah. Pada akhirnya cuaca ekstrem dapat mengurangi aktivitas ekonomi di daerah yang terkena dampaknya. Hal ini akan menyebabkan penurunan pendapatan bagi bisnis dan individu di daerah tersebut.
Secara keseluruhan, cuaca ekstrem dapat memiliki dampak ekonomi yang signifikan pada bisnis dan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk memiliki rencana mitigasi bencana yang komprehensif dalam upaya mengurangi dampak cuaca ekstrem pada bidang ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H