Lihat ke Halaman Asli

Aku, Ibu, dan Sebuah Buku Kumcer

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Agus Pribadi

63 hari-setiap hari-sejak Mas Madi meninggal dunia, aku selalu singgah ke rumah ibu-yang tinggal seorang diri-yang jaraknya sekitar 2 km dari rumahku, dan jaraknya sekitar 23 km dari tempat kerjaku. Para tetangga mungkin mengira aku yang selalu kangen dengan ibu, mungkin benar mungkin juga ada sebab lainnya. Aku ingin selalu memastikan setiap harinya kalau ibu sehat. Pernah suatu hari tangan kiri ibu tidak bisa digerakkan, ibu terkena asam urat. Aku membelikannya obat ke Sokaraja. Alhamdulillah, beberapa hari kemudian tangan ibu kembali bisa memegang sapu, gelas, dan benda-benda lainnya. Ibu kembali sehat.

Memasuki bulan November, musim hujan datang. Pohon-pohon rambutan seperti dikabari oleh rintik-rintik hujan untuk mulai berkembang untuk kemudian berbuah. Beberapa pohon rambutan peninggalan almarhum ayah yang ada di halaman rumah ibu juga sudah mulai berkembang. Memasuki bulan ini juga kesibukanku di tempat kerja meningkat. Sebagai pendidik aku harus tepat waktu, sampai tempat kerja jam 7, pulang jam 1 siang, itu kalau tidak ada kegiatan. Di bulan ini dan bulan berikutnya, ada les tambahan untuk murid-murid yang membuatku harus pulang jam 3 sore hampir setiap harinya. Dan dari tempat kerja aku selalu mampir ke rumah ibu. Terkadang hujan lebat, yang membuat ibu berfikr aku tak akan datang. Namun, aku tetap datang. Biasanya ibu akan membuatkan segelas kopi untukku dan menawariku untuk makan siang, terkadang aku menerima tawaran ibu, terkadang aku menolaknya karena di tempat kerja aku sudah makan siang. Kalau kopi, pasti selalu aku seruput, bersama camilan makanan kecil yang disajikan ibu. Sesampai di rumah ibu biasanya jam 4 sore, kemudian jam 5 sore aku pulang.

Pernah aku pulang, ibu sedang tidur, aku membangunkan ibu, dan ibu terkaget. Oleh sebab itu, sekarang aku tahu kalau ibu sedang tidur aku tak perlu berpamitan, pulang saja, ibu sudah tahu. Tapi sebenarnya tetap saja aku tak tenang jika tidak berpamitan. Sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil-sebagai anak bungsu-aku selalu berpamitan pada ibu atau anggota keluarga yang lain jika ingin pergi dari rumah. Sampai aku menikah pun aku selalu pamitan pada istriku kalau akan berangkat kerja. Kalau istriku tidak ada, pasti aku akan menunggunya ada di rumah, atau mencarinya, lantas aku berpamitan. Atau setidaknya berpesan pada saudara dekat rumah, aku berangkat kerja. Kalau berangkat kerja aku harus dalam kondisi tenang, tidak ada perasaan yang mengganjal, tidak ada masalah dengan istri atau keluarga yang lain, agar di jalan bisa tenang dan konsentrasi dalam mengendarai sepeda motor sejauh 25 km dan selama 35 menit menuju tempat kerja di luar kabupaten.

Aku ingin sampai 100 hari, 1000 hari, bahkan jika mungkin selamanya aku selalu mampir ke rumah ibu dan memastikan ibu sehat. Namun itu tidaklah mungkin, Tuhan memberi batasan umur pada manusia. Yang mungkin adalah ibu meninggalkanku lebih dahulu, atau aku yang meninggalkan ibu terlebih dahulu menghadap Sang Pencipta.

Tak terbayangkan jika ibu meninggalkanku terlebih dahulu, aku akan menemui rumah ibu kosong, hanya ada foto-foto almarhum ayah, almarhum Mas Madi, dan foto-foto lainnya. Hanya ada televisi renta yang umurnya sudah puluhan tahun yang gambarnya brintik dan terkadang menghilang. Hanya ada ranjang tua di kamar ibu. Akan sepi sekali rumah ibu. Aku akan sering duduk berlama-lama di ruang tamu seorang diri. Tak ada ibu, tak ada orang-orang yang sudah dipanggil Yang Kuasa. Tak ada lagi yang memasak di dapur yang memasaknya dengan tungku yang bahan bakarnya dengan kayu bakar. Tak ada lagi yang kutemui di rumah ibu. Yang ada Mba Ari dan keluarganya yang tinggal di belakang rumah. Hidupku mungkin akan sangat terasa sepi, terlebih saat senja menjelang. Tinggal di daerah pedesaan di pinggir kota kecil terkadang suasananya terasa sepi. Tak ada bunyi kendaraan lalu lalang karena rumahku jauh dari jalan besar.

Tak terbayangkan jika aku yang menghadap Sang Pencipta terlebih dahulu. Ibu tak akan menanti siapa-siapa lagi dari anak-anak laki-lakinya. Mas Madi, aku. Tak ada lagi. Ibu akan sering duduk termangu di ruang tamu, menunggu kedua anak lelakinya datang. Namun tak pernah datang. Tak ada lagi yang datang menemui ibu setiap harinya. Mba Supri ada di Jakarta bersama suaminya. Mba Ari tinggal di belakang rumah, namun mungkin tetap saja lain rasanya jika aku tidak ada. Mba Roh ada di luar pulau bersama keluarganya.

Saat ini ibu sangat kehilangan almarhum Mas Madi yang pergi dengan sangat cepat karena kecelakaan lalu lintas. Setiap aku datang ke rumah ibu, yang diceritakan selalu tentang almarhum dan almarhum. Ibu masih ingin menatap wajahnya lama-lama, ibu masih belum puas melihat wajah anaknya yang saat meninggal berumur 41 tahun itu.

Waktu akan terus bergulir, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, dan seterusnya. Dan aku dan ibu akan tiada di dunia untuk selamanya. Hanya tersisa sebuah cerita yang akan saya bukukan yang sudah kupoles dalam balutan fiksi, salah satunya yang akan terbit buku kumcer “Gadis berkepala Gundul”. Semoga menjadi kisah yang abadi, meski sekedar kisah-kisah sederhana. Yang di dalamnya ada kisah aku dan ibu, dan kisah-kisah lainnya. Buku itu mungkin akan tergeletak di meja yang berada di dalam rumah ibu.[]

Banyumas, 16 November 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline