Lihat ke Halaman Asli

Bahayanya "Klub Perempuan Jahiliyah"

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang muslim konservatif Rohayah Mohamad mendirikan induk perkumpulan (klub) istri patuh suami yang populer dengan nama Global Ikhwan di Malaysia. Pada sabtu (18/6/11) lalu, berdiri pula perkumpulan perempuan serupa ditanah air, klub istri takut suami (KTS) di Sentul, Bogor.

Klub ini menghendaki peranan kaum perempuan sebagai “bantal guling” belaka buat suami. “Semua urusan rumah tangga berpulang pada urusan ranjang. Seorang istri yang baik adalah pekerja seks yang baik kepada suaminya. Apa yang salah dengan menjadi pelacur untuk suami.” Demikian kotornya pikiran Rohaya Mohamad yang menjelek-jelekkan ajaran agama dan perempuan itu, akhirnya ditalak rakyat Malaysia.

Berbeda dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia, Linda Amalia Sari Gumelar ikut bersetuju dengan pendirian klub “perempuan jahiliyah” itu. Yang jikalau kita meminjam perkataan Profesor Belanda Havelock Ellis, bahwa pemerintah sesungguhnya  “mendewi-tololkan” kaum perempuan sebagai budak seks rumah tangga (domestik).

Kaum perempuan diposisikan menjadi tiang-wingking laki-laki. Dibolehkan berarti suatu syarat ekspolitasi yang lebih besar atas tubuh perempuan. Dipaksa menjalani “kodrat” yang keliru, kaum perempuan cukup tinggal dirumah, dipermadukan, memeilhara anak, mengurus dapur, cukup hak sebagai gundik, pendek kata, pemerintah merestui garis Patriarki (bapak) yang memasung peri-kehidupan kaum perempuan sebagai orientasi sosial.

Jika dalam masyarakat feodalisme kaum perempuan hanya berfungsi sebagai alat reproduksi semata. Maka, tubuh perempuan sekarang menjadi sarana komoditi dalam masyarakat kapitalis, menjadi pasar tenaga kerja murah, pajangan, industri pelacuran, misalnya. Kaum perempuan menerima double kerja, kuda-beban rumah tangga dan kuda-beban publik, tenaganya diperas siang-malam, -Women’s work is never done kata rakyat Inggris.

Yang dihisap bukan saja tenaganya, tetapi status sosialnya pun di sub-ordinat. Tiada lain kecuali “neraka” yang diasimilasikan dengan perempuan merdeka. Sebut saja Kartini, Sundari, Sukaesih, Munasiah, Dewi Sartika, Putri Mardhika, atau bahkan Sarinah, adalah perempuan-perempuan dicerca karena melawan zamannya, yaitu melawan pemasungan raja-raja feodal dan meneer kolonial.

Keadaan sengsara akibat landrent, cultuur stelsel, pajak ordonantie, natura, dsb, yang dialami rakyat Indonesia karena kolonialsime, menambah sengsara seperti potret Saidah dan Adinda dalam karya Multatuli, Max Havelaar (1860); “Di bawah Sistem Tanam Paksa penduduk harus menyediakan seperlima bagian tanahnya kepada Gubernemen. Di atas tanah-tanah perkebunan itu ditanam hasil-hasil bumi yang penting bagi pasaran Eropa, terutama kopi, selain teh dan gula. Untuk pekerjaan yang dilakukan oleh penduduk di kebun-kebun itu, harus dibayar apa yang disebut upah tanam, tapi uang itu tidak sampai ke tangan mereka.. Hasilnya mendatangkan untung bagi ekonomi Belanda”.

Boleh dibilang, perjuangan kaum perempuan Indonesia bukan saja untuk meruntuhkan tembok feodalisme atau memperbaiki tatanan sosial-ekonomi dalam masyarakat kolonial, tetapi lebih tinggi pada perjuangan politik untuk mencapai Indonesia merdeka.

Pertama dan utama bukan “roti dan bunga”, tetapi fi’il perjuangan kaum perempuan adalah ikut andil dalam pembebasan nasional. Tanpa kemerdekaan, maka tidak ada independecy politike, tidak ada kebebasan menentukan nasib sendiri. Sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia dicatat bukan dari gairah feminsime Amerika dan Eropa yang mekar di abad ke-18 untuk menuntut hak memilih dan dipilih (universal suffrage), melainkan menomor satukan perjuangan nasional.

Celakanya, apa yang telah dicapai gerakan perempuan dalam mendidik, mengorganisasikan, dan membangun masyarakat adil-makmur dalam Pemerintahan Soekarno kemudian dilucuti oleh Pemerintahan Ordebaru. Gerakan perempuan menjadi gerakan “Ibuisme”. Sebuah paham moril perempuan domestik dan pengatur ekonomi an sich yang mendukung pembangunan dan mengutuk partisipasi politik sebagai pekerjaan tak layak.

Hakikatnya adalah mobilisasi golongan perempuan untuk memenuhi pabrik industri dan menyokong proyek pembangunan Neokolonialisme. Demikian pula dalam manifestasi GBHN, UU Perkawinana No.1/1974 dan Panca Dharma Wanita, yaitu mesin regulasi Soeharto untuk menyingkirkan peranan politik perempuan demi kepentingan status quo.

Karena reformasi adalah buah dari Imperialisme yang menghisap surplus dan mematikan usaha produktif rakyat, maka betapa semakin sengsaranya kaum perempuan sekarang ini. Kasus Prita Mulyasari, penggusuran perempuan Veteran Perang, Murdayani yang membunuh bayinya, Aniek Qoriah yang membakar anaknya, Marwah yang menjual anaknya, dsb yang terjadi disetiap hari, cuman seupil keadaan yang diakibatkan hilangnya campur-tangan Negara.

Kekayaan alam dan pajak klas miskin (not haves) lebih banyak disalurkan oleh Negara kepada klas kaya (haves) dan investor asing. Semenjak tahun 1999, negara lebih banyak mensubsidi atau membail-out bank konglomerat dan memangkas subsidi dapur rakyat miskin. Didalamnya, lebih dari seratus juta atau 1/2 jiwa penduduk Indonesia adalah perempuan yang menjadi korban imperialisme.

Bukan saja angka kematian bayi, kematian ibu hamil, mal praktek, kekerasan rumah tangga, korban kriminal, buta huruf, dll, yang masih cukup tinggi dialami perempuan Indonesia, tetapi, praktek upaha murah, TKW, PHK, deindustrialisasi, menjadi problem utama kaum perempuan saat ini. Yakni menipisnya lapangan kerja dan hancurnya usaha produktif rakyat akibat imperialisme. Dengan banyaknya penganguran perempuan, maka pihak Asing yang menguasai 90% sektor ekstraaktif, 47% sektor perbankan (tanpa kepemilikan saham), 60% sektor ritel, 80% sektor perkebunan, dsb, diuntungkan dengan sistem kontrak dan politik upah murah.

Program pemerintah tidak bakal mendatangkan kesejahteraan dan perubahan jika modal asing itu di-’back up’, lebih penting dibanding industri nasional. Atau memelas pada utang Worl Bank dan menjalankan resep World Trade Organization (WTO). Padahal, home industri dan koperasi-koperasi rakyat di desa-desa pun sudah terlantar, ini berarti 1/2 kaum perempuan Indonesia sedang hidup melarat.

Baik itu imprialisme atau paham konservatisme agama selalu dihadapi dengan mata tertutup oleh Menteri L.A.S.Gumelar, tanpa sedikitpun menoleh pada tujuan sejarah perjuangan kaum perempuan dan kondisi perempuan Indonesia saat ini.

Menteri lebih tolol dibandingkan kebanyakan muslim di Malaysia, yang tidak mempersandingkan Islam dengan tatanan masyarakat Badui dan Quraish yang terbiasa merendahkan perempuan, memperbudak, memperkosa, membunuh anak-anak perempuan, dsb, bahkan sebagai musuh Agama. Praktek keagamaan yang berusaha mengangkat derajat kaum perempuan ke kedudukan sosial yang setara, dan pemuliaan perempuan dalam wahyu dimana diletakkan “surga dibawah telapak kaki perempuan” misalnya, seakan di “ludahi”.

Ada kecendrungan berbahaya dari Menteri L.A.S.Gumelar atau Pemerintah SBY-Budiono dengan menjahit kenservatisme agama dengan imperialisme. Yaitu memaksakan cerminan tradisi jahiliyah dalam perdagangan perempuan sebagai suatu yang halal untuk menyokong imperialisme. Ini nampak sekali pada retorika pemerintah mengenai Ruyati dkk, TKW Indonesia yang dipancung pemerintah Arab Saudi itu, bahwa TKW adalah sumber devisa yang perlu dibekali keterampilan budak-pembantu agar pintar melayani nafsu Badui dan Quraish.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline