Lihat ke Halaman Asli

A Higlight: Jiwa Dicuri Gerakan 'Penggebrak' atau Jiwa Ditelantarkan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ada begitu banyak hal yang selalu diperhadapkan dengan kehidupan manusia dan hal itu semua teramkum dalam satu kata yakni “persoalan” alias “Problem”.

Tidak ada seorang pun (bahkan bayi yang masih ada dalam kandungan) yang tidak pernah mengalami yang namanya ‘problem’, sebab orang yang hidupnya ‘tidak normal’ pun mengalami berbagai ‘problems’, apalagi orang yang hidup normal. Sebab terkadang bagi orang yang ‘tidak normal’, ‘problems’ seolah-olah bukanlah ‘problem’ dalam kehidupan mereka, sedangkan bagi orang yang ‘normal’ terkadang hal-hal yang bukan ‘problem’ pun dijadikan sebagai sebuah problema. Oleh karena itu, secara pribadi saya memberi sebuah statement bahwa, ‘problems’ datang kepada manusia menandakan bahwa ‘manusia itu’ hidupnya masih ‘normal.’ Normal maksud saya bukanlah hal yang hanya secara particular merujuk kepada kehidupan sosial, ekonomi, perkawinan, gender, habits, dan sebagainya. Namun ‘normal’ di sini merujuk kepada hal yang ‘generally’.

Dalam tulisan ini, secara pribadi saya ingin merespons sebuah ‘statement’ dari seorang pengkhotbah di atas mimbar. Ini tentu bukan sebuah penghakiman, namun lebih kearah hal yang perlu dikritisi dan hal yang perlu mendapatkan pencerahan.

Suatu ketika di hari Minggu, saya mengikuti Ibadah seperti biasanya di hari Minggu. Namun ini lebih kepada sebuah kunjungan ke suatu jemaat. Nas pembacaan saat itu terambil di dalam 1 Yoh.5:6-12. Pengkhotbah menguraikan renungan yang bertajuk pada sebuah tema umum ‘kesaksian’. Tentu hal ini menarik karena dapat memperteguh iman jemaat untuk lebih setia dalam iman dan membawa ‘testimonies’ dalam kehidupan mereka setiap saat. Nas ini secara konteks memberitakan zaman pelayanan Yohanes yang menghadapi pengajar-pengajar lain yang memiliki aliran filsafat Yunani yang kuat yang tentunya tidak berdasarkan dengan kebenaran Injil, salah satunya adalah aliran Gnostik. Aliran gnostis, Doketisme adalah aliran menjurus pada kerohanian yang murni dan pada suatu persatuan yang langsung dengan Allah tanpa manusia Yesus, tanpa persekutuan kasih dan tanpa hukum-hukum yang membebani kewajiban-kewajiban.(http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=Yohanes,%20Surat-Surat%20Yohanes).

Nah, apa yang ingin saya kutip di sini? Mengapa saya perlu mengkiritisi hal demikian? Padahal secara latar belakang konteks nas itu sudah benar. Yang perlu saya kritisi adalah pengaplikasian dari renungan khotbah ini. Sebuah kalimat dalam statement pengkhotbah yang kurang lebih rangkaiannya seperti ini, “Saya kuatir akan pemuda-pemudi kita sekarang, jangan mudah untuk tergoda dengan tawaran-tawaran dari kelompok-kelompok yang ada di luar yang mengajak Anda untuk masuk dalam kelompok-kelompoknya. Bagi orang tua, teruslah peringati anak-anak kita supaya jangan mudah untuk tergoda dengan hal-hal (ajaran-ajaran) yang tidak sesuai dengan kebenaran. Jadikanlah Alkitab sebagai patokan yang utama dalam melihat bergabagai ajaran yang ada.”

Apa yang Anda bisa tangkap dari rangkaian kalimat ini? Apa yang salah atau apa yang menjadi kekeliruan Anda? Actually, seolah-olah tidak ada yang perlu dikritisi dari kalimat ini, pesan ini sudah benar dan senantiasa menjadi sebuah dorongan yang harus kontinyu dipesankan kepada anak muda supaya mereka tetap selalu berhati-hati dalam pergaulannya dalam memilah-milih suatu ajaran yang diperhadapkan kepada mereka. And atentu setuju.

Namun, adakah terbersit sedikit pun dipikiran Anda sesuatu yang perlu dikritisi? Anda tentunya tidak perlu mengkritisi susunan kalimat yang ada, bukan itu yang menjadi hal yang perlu saya kritisi. Namun, lewat ungkapan statement ini, muncul dalam pemikiran saya bahwa, ada sebuah “kekuatiran” dalam diri pengkhotbah ini lewat ungkapannya. Ada kekuatiran yang besar yang sedang diperhadapkan dengan lingkup pelayanannya bagi anak muda. Tentu bagi Anda yang mengenal dan bergelut dalam pelayanan ‘kaum muda’ mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi ‘problems’ bagi pelayanan ‘kaum muda’ saat ini. Saya menangkap bahwa ‘kekuatiran’ dari sang pengkhotbah ini adalah suatu saat anak-anak muda dalam gerejanya tidak lagi mau mengambil bagian dalam peribadahan atau kegiatan kepemudaan di dalam gerejanya, karena lebih tertarik oleh ajaran ‘kelompok-kelompok’ yang menarik anak muda untuk lebih menikmati persekutuan yang berbeda dengan menggunakan konteks secara relevan dengan cara hidup anak muda zaman sekarang, kira-kira itulah bahasa sederhananya.

Secara eksplisit, sang pengkhotbah ini sedang mengungkapkan kekuatirannya akan banyaknya gerakan-gerakan pelayanan ‘kaum muda’ di luar sana yang mencoba untuk merebut jiwa ‘anak muda’ gerejanya untuk ditarik keluar dan bergabung dengan mereka. Kalau hal ini terjadi, tentu siapapun gembala jemaat akan kehilangan beberapa jiwa dari gerejanya, masih untung kalau bukan jiwanya yang hilang alias sakit jiwa (kelakar). Bagi sebagian pendeta atau hamba Tuhan, gerakan semacam ini adalah gerakan ‘pencuri jiwa.’

Bagi saya secara pribadi, mereka ini bukan perebut atau dalam bahasa kasarnya pencuri jiwa ‘kaum muda’, namun lebih kepada penggebrak jiwa ‘kaum muda’. Siapa penggebrak ini? Siapa lagi kalau bukan gerakan-gerakan ‘Kharismatik’, gerakan yang sebagian dari kaum Protestan tidak senangi karena sepak terjang gerakan ini dalam dunia pelayanan. Saya penganut Protestan dan saya penganut Teologi Reformed, namun saya bukan termasuk dari kaum Protestan yang ‘anti’ terhadap gerakan Kharismatik. Sebagai hamba Tuhan , saya bersikap toleran kepada setiap umat Kristen yang berbeda denominasi namun sama-sama memegang Alkitab sebagai patokan utama dalam hidup beriman, tapi menolak keras berbagai ajaran Kristen yang sudah melenceng dari Alkitab sebagai patokan utama dalam kehidupan kekristenan.

Kembali kepada gerakan Kharismatik (gerakan yang mengutamakan karunia-karunia Allah dalam kehidupan pelayanannya) yang saat ini semakin menggebrak dunia pelayanan. Tentu ada hal-hal yang pro dan kontra yang perlu untuk dipertimbangkan dalam gerakan ini. Gerakan ini tidak terlalu mementingkan dogma-dogma geraja sebagaimana yang dianut oleh kaum Protestan, seolah-olah dogma itu hanya mengekang kehidupan kekristenan. Namun mereka lebih mengutamakan bagaimana karunia yang Allah percayakan dimaksimalkan untuk menuai jiwa-jiwa bagi Allah. Sedangkan bagi ‘sebagian’ kaum Protestan kehidupan dan pikiran mereka lebih diikat oleh dogma geraja dan terasa sulit untuk memaksimalkan karunia yang dipercayakan Allah bagi mereka, mungkin saja mereka merasa tidak memiliki karunia karena tidak memaksimalkannya atau tidak pernah menyadarinya dalam hal ini saya katakan “kaum Protestan yang seperti ini adalah orang-orang yang memendam hartanya dan tidak tahu kegunaannya untuk apa, jadi sebaiknya disimpan saja’. Ada juga yang bilang metode “cari aman’ saja.

Namun ada hal yang perlu perhatikan juga dalam sepak terjang kaum ‘Kharismatik’, tidak semua harus ditelan mentah-mentah. Saya setuju dengan ‘illustrasi’ pengkhotbah di atas yang mengatakan, melihat ajaran-ajaran yang ada disekitar kita sama seperti ketika kita makan nasi. Kalau sementara kita makan dan tiba-tiba ada pecahan batu kecil di nasi, tentu kita sadari dan perlu kita buang dan yang perlu ditelan tentu hanya nasinya saja. Demikian juga dengan ajaran-ajaran ‘penggebrak’ ini, ada yang perlu diperhatikan untuk kita berhati-hati. Misalnya mengenai karunia berbahasa roh, saya percaya adanya karunia bahasa roh namun sampai saat ini saya tidak merasa dan menemukan dalam diri sayakarunia untuk berbahasa roh, jadi saya tidak perlu berusaha seolah-olah saya punya karunia ini dan saya ikut berbahasa roh takkala ada orang lain yang sedang ‘merasa’ diriya berbahasa roh. Bahasa roh bukanlah sebuah bahsa yang dikira-kira. Mengapa orang merasa bahwa orang ini atau dirinya sedang berbahasa roh, karena hanya sekedar mengira-ngira bahwa inilah bahsa roh. (Pdt AS).

Ingat! Karunia bukanlah diusahakan oleh manusia apalagi dikursuskan (di Makassar pernah ada yang membuka kursus bahasa roh), sebab karunia itu adalah pemberian Allah kepada manusia yang dipercaya-Nya mampu bertanggung jab pada karunianya. Anda dapat membandingkannya dengan karunia nabi atau bernubuat (khotbah), orang tidak perlu kursus untuk memperoleh karunia ini. Karena apa, kursus berarti kita sedang berusaha untuk bisa mendapatkan sebuah ilmu itu, dengan usaha kita maka suatu saat kita bisa menguasainya, kursus English misalnya. Karunia nabi ataupun nubuat, toh hamba Tuhan yang ikut ‘kuliah’ tidak akan mampu bisa kalau mereka memang tidak punya karunia tersebut. Tidak semua orang yang kuliah ‘homiletik’ punya karunia untuk berkhotbah, semua orang dapat mengerti teori, atau pun metodenya namun tidak semua mereka itu dapat berkhotbah.

Ini tentu hanya pelurusan pemahaman, bagi Anda yang keberatan semoga tidak menjadi masalah buat Anda, apalagi kalau Anda yakin bahwa Anda mendapatkan karunia berbahasa roh dari Allah, tersulah maksimalkan. Sekali lagi saya tekankan, saya percaya akan adanya karunia bahasa roh dan tentu saya sangat bersyukur kalau Tuhan mengaruniakan itu pada saya, namun Allah tentu melihat kemampuan setiap kita, sebarapa kuat dan sebarapa mampu kita memaksiimalkan karunia kita untuk dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya. Secara pribadi, satu karunia yang saya miliki sudah menjadi hal yang luar biasa selagi saya mampu memaksimalkan dan mempertanggung jawabkannya dihadapan Allah. Diberi dua atau tiga, It all are incredible.

Nah, kembali kepada ‘kekuatiran’ sang pengkhotbah di atas. Secara etika pelayanan, seharusnyastatement dalam rangkaian kalimat sang pengkhotbah ini tidak perlu diucapkan di atas mimbar. Mengapa saya katakana demikian? Lepas dari masalah jujur dan tidaknya, kalau dikatakakan jujur, yah hal ini tentu dapat point 100 dari Tuhan, karena firman Allah sendiri berkata, Jikaya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak.Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat.5:37; Yak.5:12). Namun dalam pemikiran saya ini tidak sesuai dengan konteksnya, konteks etika dan konteks sikon. Secara etika hamba Tuhan, ini sama saja sedang memaparkan ‘failure’ alias kegagalan sang pengkhotbah dalam menggembalakan anak muda tanpa menyadarinya bahwa ini tentu menyorot dirinya sendiri. sikonnya pun tidak sesuai karena disampaikan lewat mimbar. Hai bapak-bapak gembala di mana pun Anda berada, tahu kah kita bahwa sebagian ‘anak muda’ menjadikan ‘mimbar’ gereja itu sebagai sebuah ‘idiom’ ? Idiom ini berarti ‘tempat penghakiman’ bagi mereka. Maka dari itu, sebaiknya kalau khotbah di kalangan ‘pemuda’ hindarilah pemakaian ‘mimbar’ secara kontinyu, cobalah untuk tidak setiap minggu dalam persekutuan menggunakan khotbah mimbar, mungkin Anda bisa coba nongkrong di café, di warkop, di balkon gereja dsb sambil membicarakan hal-hal yang relevan bagi anak muda sekarang dan tentu tidak lupa jadikan firTu sebagai patokan (jangan juga cuman ngopi doang), bukan hanya khotbah terus di mimbar. Saya kira ini metode yang digunakan dari gerakan-gerakan kahrismatik sehingga menarik banyak kaum muda, karena memang inilah yang ‘interest’ mereka, itulah pentingnya konteks. Saya pernah coba ini dan hal ini berhasil, ini interesting bangetlah kalau bisa dikatakan begitu bagi anak muda, apalagi kaum remaja. Kebanyakan aliran Protestan belum menerapkan metode demikian, makanya tidak dapat merasakan manfaatnya karena tidak ‘ingin’ dicoba. Saya belajar dari kaum Kharismatik hal demikian dan juga semangat mereka, patut diancungin jempol.

Jadi, itulah yang saya ingin kritisi dari sang pengkhotbah, menyampaikan sesuatu dari atas mimbar yang sebenarnya mengutarakan ‘failurenya’ sendiri tanpa disadari. Memang setiap kita punya titik ‘weakness’, namun sebaiknya hal itu tidak diperlihatkan di atas mimbar, cobalah ambil waktu untuk membicarakan atau konsultasi dengan bebrapa pemuda (jika ada) yang telah mulai terpengaruh gerakan-gerakan yang menarik mereka, tanyakan apa alasannya dan sebaiknya seorang gembala belajar dari hal ini. Dia tentu perlu menyadari bahwa metode atau pengajarannya mungkin sudah tidak relevan dengan zaman anak muda sekarang. Cobalah cari solusi untuk melakukan cara terbaik dalam melayani atau menggembalakan anak muda sesuai dengan konteksnya. Karena itu, bagi saya seorang pendeta/gembala/preacher itu harus GAUL, gaul bukan berarti perlu memakai pakaian-pakaian yang ‘terlalu lebay’ bagi ukuran seorang pendeta, tapi setidaknya pertemukanlah konteks dan ajaran yang disampaikan. Pada dasarnya gaul berarti, tahu dunia anak muda setiap zamannnya seperti apa, tahu apa yang mereka gunakan misalnya penggunaan gadget/IT, dunia pergaulan mereka, dsb. Sekarang zaman internet dan seorang pendeta/preacher harus tahu bagaimana menggunakannya, apalagi bagi mereka yang melayani di kota, wah ini sebuah kebutuhan banget, ‘mau eg mau’ harus tahulah, it’s compulsory (wajib) hukumnnya. Beda kalau Anda melayani di desa, meskipun suatu hal yang perlu ditahu tapi tidak terlalu menjadi kewajiban, kecuali Anda mungkin suatu saat akan dimuatsi ke kota, wajib tahu.

Karena itu, sewaktu saya mengikuti sebuah pelatihan kepemimpinan dasar dari sebuah organisasi pemuda yang diadakan oleh lembaga Gereja tempat saya sebagai anggota jemaat di denominasi ini, saya menulis sebuah ‘paper’ dengan melihat kebutuhan pelayanan pemuda yang sangat ‘urgen’ sebenarnya, namun seolah-olah tidak mendapat respons dari panitia yaitu mengusulkan adanya ‘youth pastor’ atau gembala pemuda yang memang khusus menggembalakan pemuda di gereja ini. Mengapa? Seorang pendeta jemaat yang sudah ‘tua’ dan tidak dapat mengembangkan pelayanan secara konteks zaman bagi kaum muda, akan membuat pemuda ‘kurang bergizi’. Mengapa? Karena ‘air atau pun pupuk’ yang dibutuhkan bagi kaum muda tidak sesuai dengan air/pupukyang diberikan kepada mereka. Tidak akan ada koneksi antara pergaulan anak muda zaman sekarang dengan pergaulan pendeta di zaman 70an atau 80an, kecuali dia sebagai gemabala bisa dikatakan ‘GAUL.” Karena itu dibutuhkan gembala-gembala muda yang berpotensi dan memiliki kualifikasi penggembalaan yang relevan dengan zaman yang ada.

Mengapa geraja tidak menyediakan gembala muda?

Mengapa geraja tidak mensupport anak-anak muda untuk menjalani pendidikan di sekolah seminary?

Mengapa gereja seolah-olah tiddak membutuhkan Timothius-Thimothius zaman sekarang?

Mengapa geraja hanya terus mengandalkan pendeta-pendeta yang sudah beruban, entah itu rambut atau jenggot mereka?

Mengapa gereja tidak menyadari perlunya kebutuhan ini?

Katanya kaum muda adalah generasi masa depan dan tiang-tiang atau pilar-pilar geraja masa kini, tapi mengapa mereka seolah-olah dibedakan dari jemaat yang sudah merupakan orang-orang tua?

Hei! Para pemimpin Gereja, bangunlah! Siapapun Anda, anak muda membutuhkan uluran tangan kalian. Penuhilah kkebutuhan anak muda kalau gereja Anda tidak ingin kosong 10 atau 20 tahun ke depan!

Sekarang, bagi para pemimpin gereja yang merasa jiwa-jiwanya telah dicuri oleh gerakan-gerakan penggebrak, apakah mereka mencuri jiwa-jiwa Anda atau Anda yang membiarkan jiwa-jiwa Anda terlantar sehingga ditemukan tersesat oleh ‘penggebrak’?

Alangkah baiknya jika jiwa-jiwa (domba) Anda yang terlantar digembalakan bagi gerakan ‘pencuri jiwa’ dari pada Anda menelantarkan seekor domba yang membutuhkan kepuasaan rohaninya. Itu lebih baik dari pada mereka makan rumput tetangga dan dijadikan ‘kawanan kambing’ mereka, bukan?

Saya percaya bahwa Tuhan memakai para penggebrak untuk membangunkan Anda dari tidur yang panjang dalam memimpikan ‘dogma-dogma’ gereja kita. Tidak semua metode para penggebrak harus kita singkirkan, adakalanya kita perlu belajar dari mereka. Salam kritis dan damai. God bless.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline