Lihat ke Halaman Asli

Agus Netral

Kemajuan berasal dari ide dan gagasan

Asta Cita Prabowo - Gibran dan Upaya Mengatasi Pengangguran

Diperbarui: 18 Juli 2024   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rencana apa yang akan dilakukan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil Pilpres 14 Februari 2024, sudah ditetapkan dalam proses pencalonannya. Dokumen itu dinamakan Asta Cita, yang artinya 8 tujuan, cita-cita atau keinginan. Sedangkan seperti diketetahui presiden Jokowi selama 2 periode kepemimpinannya mengusung konsep Nawa Cita atau 9 cita-cita.

Dari ke-8 Asta Cita Prabowo -- Gibran itu, yang ingin disorot disini adalah Asta Cita yang ke-3 yaitu; Meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur. Lalu lebih fokus lagi kita ke keinginan dari Prabowo-Gibran untuk meningkatkan jumlah lapangan kerja yang berkualitas serta mendorong kewirausahaan.

Masalah lapangan kerja sekarang ini perlu terus diperhatikan karena angka pengangguran selama 10 tahun terakhir kepemimpinan pak Jokowi, besarannya relatip tidak banyak berubah dari tahun ke tahun sebagaimana yang terlihat pada data BPS.

Pada Agustus 2014 ketika pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengawali tahun pertama pemerintahannya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2014 menurut BPS adalah 5,70% (7,2 juta orang), kemudian 5 tahun berikutnya pada tahun 2019 (tahun pertama Joko Widodo-Ma'ruf Amin), TPT berada pada angka 5,28% (7,05 juta orang) Sakernas Agustus 2019, dan pada bulan Agustus 2023 TPT menjadi 5,32% (7,86 juta orang). Jadi besarannya tak pernah turun dari 7 juta orang dalam 10 tahun terakhir.

Dan bukan saja pengangguran terbuka sebenarnya yang didapatkan dari data Sakernas itu, tapi BPS juga menampilkan data setengah penganggur yaitu penduduk bekerja di bawah jam normal (kurang dari 35 jam seminggu) tetapi masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan, diantaranya karena penghasilan yang kecil. Tetapi selama ini data setengah penganggur ini kurang diekspose ataupun kurang dikenal dibanding pengangguran terbuka. Contoh setengah penganggur adalah guru honorer di sekolah. Mereka bekerja sampai 6 hari seminggu dengan sepatu mengkilap dan seragam tenaga pengajar, tetapi penghasilannya relatip kecil yaitu 450 ribu rupiah per bulan. Jumlah setengah penganggur ini menurut BPS pada bulan Agustus 2023 mencapai 9,34 juta orang, yang justru meningkat dari keadaan bulan Februari 2014 yang masih 7,3 juta setengah penganggur.

Kondisi penganggur maupun setengah penganggur ini harus menjadi perhatian serius karena usia rata-rata dari para penganggur adalah antara 20 hingga 30 tahun (selesai SMA dan Perguruan Tinggi) yang merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kehidupan manusia yaitu saatnya untuk kawin dan membangun keluarga. Semua dari orang muda yang menganggur dan para orang tua berkeinginan agar anaknya dapat pekerjaan yang layak sebelum kawin.

Dan seperti diketahui faktanya pekerjaan itu sulit, walaupun berkali-kali si penganggur mengajukan lamaran serta mencoba sampai bertahun-tahun. Apalagi untuk pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan, dan kapasitas dari pencari kerja. Akhirnya terpaksa si penganggur menggeluti kerja serabutan yang sama sekali tidak sesuai dengan ijazah dan tingkat pendidikannya, yang penting bisa bertahan hidup.

Sekarang ini pemandangan yang sudah dianggap biasa saja, dimana ada seorang Sarjana Hukum justru jualan cilok keliling kampung. Sarja Pendidikan ada yang keliling menjajakan racun tikus. Dan teman saya seorang tenaga rekrutmen untuk TKI Malaysia dengan bangga mengatakan bahwa sebagian besar yang dia rekrut untuk kerja kelapa sawit di Malaysia adalah bergelar Sarjana, sementara dia sendiri tidak tamat SD.

Kemudian alternatip untuk berwirausaha juga tidak kalah tantangannya. Memulai usaha bagi sebagian besar lulusan merupakan sebuah langkah beresiko, sehingga lebih senang jadi orang gajian.

Dengan demikian kerja serabutan merupakan pilihan yang paling memungkinkan. Walaupun disadari juga dengan kerja serabutan tanpa penghasilan yang jelas akan sangat memberatkan. Keuangan keluarga yang serba terbatas akan berdampak pada generasi ataupun bayi yang dikandung serta yang akan dilahirkan, yaitu yang tidak bisa mendapatkan asupan gizi yang cukup, karena susu tidak mampu dibeli. Ujung-ujungnya adalah ancaman tumbuh kembang bayi yang tidak normal atau stunting, tak bisa dihindari.

Lapangan Kerja Berkualitas

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline