Rencana pemerintah mencabut subsidi listrik daya 450W dan 900W telah memunculkan perbedaan di masyarakat. Pencabutan subsidi tersebut disebabkan adanya pelangan listrik bersubsidi yang dinilai sebenarnya tidak layak menerima subsidi. Menurut data yang ada tercatat 23juta pelanggan yang termasuk tidak layak mendapat subsidi. Apabila rencana tersebut sukses dijalankan, maka pemerintah dapat menekan subsidi listrik hampir Rp. 30 trilyun rupiah. Mekanisme pencabutan subsidi yang diwacanakan adalah beralih menjadi pelanggan listrik non-sunsidi dengan daya ke minimum 1300W (migrasi daya) atau tetap menggunakan daya yang sama tetapi tarifnya tidak mendapat subsidi (migrasi tarif).
Meskipun alasan pemerintah mencabut subsidi tersebut masuk akal, tetapi banyak pula pihak yang keberatan atau memberi catatan terhadap rencana tersebut. Pihak YLKI mengingatkan bahwa pencabutan subsidi bagi 23juta pelanggan dapat menimbulkan gejolak sosial danmenganggap sama halnya dengan menaikkan tarif listrik secara tidak langsung. Seorang pengamat juga mengingatkan kemungkinan banyaknya pelanggan yang menunggak pembayaran dan hal ini menyebabkan kerugian bagi PLN. Menimbang polemik yang terjadi di masyarakat, pemerintah akhirnya menunda rencana pencabutan subsidi dari bulan Januari 2016 menjadi Juni 2016. Penundaan dimaksudkan agar pelangan yang memang memenuhi kriteria saja yang tetap mendapat subsidi sementara yang tidak akan dicabut. Entah mekanisme mana yang dipilih, migrasi daya atau migrasi tarif belum diputuskan. Artikel ini mencoba mengulas untung-ruginya.
Pemilihan salah satu dari dua opsi mekanisme pencabutan subsidi akan menimbulkan masalah baru yang mungkin belum diperhitungkan secara masak oleh PLN atau pemerintah. Dilihat dari kebutuhan listrik yang terus meningkat setiap tahunnya, mekanisme migrasi daya justru dapat menjadi bumerang bagi PLN menyangkut ketersediaan listrik. Hitung-hitungan secara kasar bila 23 juta pelanggan yang tidak layak mendapat subsidi beralih semua ke daya 1300W, maka terdapat penambahan beban listrik hampir 10,000 MW. Pertanyaannya adalah siapa yang menjamin bahwa dengan tarif listrik yang mahal, berapa persen pelanggan yang mau melakukan penghematan. Hal ini haruslah mendapat perhatian sebab budaya penggunaan listrik bagi pelanggan rumah tangga dan sosial cenderung boros dan konsumtif. Himbauan untuk menggunakan listrik seperlunya dan mematikannya selebihnya tidak efektif. Budaya boros dan konsumtif ini tidak terlepas dari tarif listrik yang murah selama bertahun-tahun, sehingga upaya penghematan listrik tidak signifikan dalam menghemat pembayaran listrik. Hal inilah yang membentuk budaya penggunaan listrik yang boros dan konsumtif.
Mekanisme migrasi tarif juga akan memunculkan masalah baru. Bila besarnya tarif listrik daya 900W sama dengan 1300W, dapat menimbulkan keinginan pelanggan untuk beralih ke daya 1300W. Faktor-faktor yang menyebabkannya diantaranya adalah ingin mendapat pelayanan yang sama dengan pelanggan dengan daya 1300W, budaya penggunaan listrik yang boros dan konsumtif dan pelanggan merasa mampu membayar. Wal hasil, bila migrasi tarif tidak disertai dengan ketentuan-ketentuan yang ketat, hanya akan menyebabkan banyaknya pelanggan yang melakukan migrasi daya. Hal ini hanya akan membebani ketersediaan listrik.
Terlepas dari wacana mekanisme pencabutan subsidi tersebut diatas, penggunaan listrik seyogyanya mampu mensejahterakan masyarakat dan selaras dengan semboyan “listrik untuk kehidupan yang lebih baik”. Hal ini dapat dicapai apabila penggunaan listrik bersifat hemat dan produktif. Hemat artinya listrik digunakan untuk hal-hal yang penting saja. Produktif artinya penggunaan listrik mampu memberikan nilai tambah baik secara ekonomi maupun sosial bagi masyarakat. Hal-hal yang dapat dilakukan diantaranya adalah pemerintah lebih serius menggalakkan program hemat listrik misalnya lebih intensif mengedukasi masyarakat, memfasilitasi program penghematan listrik misalnya program penggunaan lampu hemat listrik, membuat regulasi dan standar yang mengatur daya listrik untuk peralatan rumah tangga dll.
Selain itu, Pemerintah seharusnya juga tidak segan-segan memberikan penghargaan bagi masyarakat yang mampu melakukan penghematan listrik. Insentif ini misalnya diberikan bagi pelanggan rumah tangga dan sosial yang kebutuhan listrinya tidak lebih dari nilai tertentu misalnya 30kWh/bulan. Teknis pelaksanaannya misalnya bagi pelanggan listrik prabayar, bisa dilakukan dengan memberikan diskon harga untuk pembelian pulsa listrik sebesar nilai tertentu untuk pembelian pertama dibulan berjalan. Sedangkan pembelian pulsa berikutnya dalam bulan berjalan dikenakan tarif komersial. Bagi pelanggan pasca bayar, dapat diterapkan tarif progresif bila melebihi beban tertentu maka dikenakan tarif komersial.
Pelanggan industri/komersial juga perlu mendapat insentif pula bilamana memenuhi kriteria tertentu. Kriteria-kriteria tersebut misalnya berdasarkan jumlah tenaga kerja, kategori industrinya UKM atau industri besar, penggunaan listriknya telah sesuai dengan keperluan proses produksinya atau tidak. Kriteria terakhir ini dapat diketahui dengan cara melakukan audit penggunaan listrik terlebih dahulu. Hasil audit tersebut digunakan untuk mengetahui seberapa besar penggunaan listrik yang tidak terkait langsung dengan proses produksi. Jika pelanggan industri mampu meniadakan penggunaan listrik tersebut, maka perusahaan berhak mendapat insentif.
Penulis ingin menegaskan bahwa listrik seharusnya digunakan untuk hal-hal yang bersifat penting. Budaya penggunaan listrik yang boros dan konsumtif selama ini, sudah selayaknya sedikit-demi sedikit diubah menjadi budaya hemat dan produktif. Perubahan yang cepat/drastis hanya akan menimbulkan gejolak sosial dimasyarakat. Pemerintah perlu lebih mendalam mengkaji opsi-opsi pencabutan subsidi. Pemerintah perlu pula mendengar pendapat masyarakat dan memperhatikan ide-ide yang muncul di masyarakat guna melengkapi pendapat dan ide-ide dari para pakar yang ditunjuk.
Agus Suprihanto
Dosen Teknik Mesin UNDIP Semarang dan pemerhati masalah energi,