Lihat ke Halaman Asli

Reshuffle Transaksional

Diperbarui: 12 Januari 2016   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Reshuffle Kabinet (kontan.co.id)"][/caption]

Angin Reshuffle terhembus kencang dalam minggu terakhir ini. Agenda yang diusung dari isu reshuffle kabinet ini pun berbeda dari sebelumnya. Beberapa menteri yang dicopot dan digeser kala itu lebih banyak disebabkan oleh agenda percepatan konsolidasi pemerintahan Jokowi-JK dalam rangka percepatan pelaksanaan visi dan misi dan pemulihan kondisi perekonomian yang sedang lesu.

Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi setahun mengemban tugas yang mengalami tren penurunan, juga lambatnya kinerja pembangunan dalam penyerapan anggaran cukup menjadi alasan penanda bagi pemerintah untuk melakukan reshuffle kabinet. Bukan hanya alasan itu saja, beberapa bulan terakhir gonjang ganjing politik yang intensitas semakin memanas, ditambah dengan konstelasi peta politik yang berubah secara drastis. Hal itu ditandai dengan bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN), dan manuver partai golkar yang merapat kedalam partai koalisi pendukung pemerintah turut menjadi bagian pendorong adanya reshuffle jilid II ini.

Selain itu juga, kegaduhan yang terjadi di internal pemerintahan juga sangat menganggu jalannya roda pemerintahan. Sebut saja pertarungan Menko Maritim danESDM Rizal Ramli dengan JK soal target listrik 35.000 MW, persoalan korupsi pengadaan crane di PT Pelindo (BUMN) yang menjadikan RJ Lino sebagai tersangka. Ditambah lagi dengan keegaduhan yang mengegerkan publik dengan mencuatnya kasus perpanjangan PT Freport Indonesia, yang ditengarai dengan munculnya sebuah rekaman pencatutan nama RI 1 dan 2 dalam kasus papa minta saham, yang melibatkan Setya Novanto, Riza Khalid, dan Dirut Freport Indonesia Maroef Sjamsudin, yang mana diawali dari laporan Menteri ESDM kepada Lembaga Kehormatan Dewan.

Politik Transaksional

Perkembangan politik akhir-akhir ini memang jauh berbeda jika dibanding dengan awal pemerintahan Jokowi-JK terbentuk. Jika irisan partai koalisi pendukung pemerintah dibanding koalisi oposisi memiliki keseimbangan yang cukup signifikan. Keberadaan KMP (koalisi merah putih) yang memiliki dukungan diparlemen lebih besar dibanding KIH (Koalisi Indonesia Hebat) nyatanya cukup memberikan perimbangan kekuatan. Hal itu terbukti dengan kemenangan yang telak dimenangkan diperoleh KMP ketika proses pemilihan kelengkapan dewan (DPR dan MPR).

Berjalannya waktu, dinamika politik yang terus berkembang, berbagai persoalan satu per satu bermunculan, PPP dan Partai Golkar yang kepengurusannya terbelah menjadi penanda awal kebangkrutan KMP sekaligus kebangkitan KIH. Tentu momentum ini dimanfaatkan oleh KIH untuk terus melakukan manuver dan loby-loby politik guna merebut simpati untuk turut bergabung dalam koalisi pemerintah. Walhasil tidak butuh terlalu lama, secara terbuka PAN menyatakan diri untuk memberikan dukungan kepada Pemerintah.

Alih-alih dengan berbasa-basi tidak keluar dari KMP dan pula tidak ke KIH. Namun secara substansi politik jelas posisi PAN telah berada pada barisan pemerintah. sesingkat kemudian, beberapa minggu terakhir ini Partai Golkar pun kembali memanas dengan pernyataan kontraversial kubu munas Bali yang menyatakan pengabungan golkar dalam koalisi pendukung pemerintah Jokowi-JK, dan sejurus kemudian keabsahan kubu munas bali kembali dipertanyakan.

Dalam tubuh partai koalisi pendukung pemerintah pun tidak kalah sengit pertarungannya. Manuver yang dilakukan menteri PAN & RB pada minggu lalu dengan merelease raport kinerja kabinet menjadi pemantik panasnya pertarungan di internal koalisi. PKB dan Nasdem yang menurut hasil raport penilaian kinerja menteri menduduki posisi paling buncit menjadi boomerang bagi Yudi Krisnandi untuk menjadi sasaran tembak. Nasdem dan PKB mempertanyakan kapasitas dan kewenangan menteri Yudi Krisnandi dalam merelease raport tersebut ke publik. Seakan-akan menjadi lampu tanda bahaya bagi kedua kader parpol tersebut untuk bersiap-siap hengkang dari kabinet Jokowi-JK.

Jika dianalisis rangkaian peristiwa yang menandai akan adanya reshuffle memang jelas terlihat, namun substansi dari reshuffle itu sendiri belum jelas agendanya bagi kepentingan perbaikan kinerja pemerintah, melainkan hanya agenda bagi-bagi kursi bagi parpol yang baru bergabung. Pemerintah Jokowi-JK yang memang dari awal rentan tejadi gejolak dan rawan terjadi bongkar pasang komposisi kabinet nya. Hal itu karena pragmatisme dan dinamika yang terjadi dalam sistem perpolitikan nasional yang masih labil yang lebih mementingkan kekuasaan ketimbang idealisme ideologi dan partron politik. Hemat saya, situasi ini akan terus berlanjut hingga 2019 jika pemerintah Jokowi-JK hanya berfokus terhadap dukungan politik bukan pada agenda kinerja pemerintah.

Jika kita lihat secara untung rugi. Agenda reshuffle kali ini memang banyak akan memberikan keuntungan bagi Jokowi untuk menguatkan dukungan politik terhadap pemerintah. Namun pada sisi lain, reshuffle akan memunculkan kegaduhan baru bagi partai pengusung pemerintah, Katakanlah PKB, Nasdem, dan Hanura. Kendati reshuffle adalah hak prerogatif presiden, namun tidak bisa disangkal bahwa kursi menteri adalah sebuah komitmen politik yang menjadi barometer dukungan politik, sehingga jika terjadi perombakan komposisi menteri yang nantinya berdampak pada pengurangan jatah kursi menteri disatu sisi dan jatah kursi baru bagi partai pendukung yang datang belakangan disisi lain, akan memicu persoalan baru yang akan menimbulkan konflik dan kegaduhan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline