Lihat ke Halaman Asli

Keraguan Pada Calon Kepala BIN

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Setelah sekian lama dalam penantian tentang siapa yang mengantikan Marciano sebagai kepala BIN (Badan Intelijen Negara), kemarin (10/6) Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan pencalonan Mantan Gubernur Sutiyoso sebagai kepala BIN.

Pengajuan nama Sutiyoso banyak menuai kontroversi baik secara kompetensi, pengalaman, dan masa lalunya. Kendati sutiyoso mengaku bahwa dunia intelijen adalah habitatnya, namun tidak sedikit pengamat dan kader partai seperti PDIP yang meragukan kemampuannya. Hal ini didasarkan karena usia Sutiyoso yang sudah uzur (71 tahun) juga pengalaman dalam hal intelijen yang dinilai telah usang dan ketinggalan Jaman, dan dihawatirkan akan membawa institusi intelijen menglami kemunduran.

Tantangan Intelijen

Dalam beberapa kesempatan, para pengamat intelijen berpendapat bahwa saat ini yang diperlukan dalam BIN adalah bagaimana melakukan reorganisasi dan remodernisasi bidang intelijen. Hal ini dikarenakan tantangan yang dihadapi oleh intelijen bukan hanya persoalan intelijen keamanan dalam artian fisik (konvensional), namun juga soal perang dalam dunia maya (cyber war).

Perang terbuka menggunakan persenjataan militer atau hard power (kekuatan keras) umumnya sudah tidak relevan lagi dalam kondisi dunia sekarang, serta sangat mahal secara ekonomi. Ini bukan berarti ancaman hard power bisa disepelekan. Ketegangan militer antara Cina dengan sejumlah negara, yang memiliki sengketa wilayah di Kepulauan Spratley, Laut Cina Selatan, masih sangat nyata. Konflik militer terbuka masih bisa pecah. Begitu juga kita lihat dalam kasus ISIS di Timur Tengah sekarang.

Namun, perang asimetris dengan pendekatan cyber war perlu mendapat perhatian lebih, karena aktor-aktor pemainnya bisa sangat banyak dan beragam, bukan cuma negara-negara yang memiliki kekuatan militer. Perang cyber bisa dilakukan lewat eksploitasi media massa, penjebolan situs internet lewat peretas individual, disinformasi, dan kampanye propaganda. Ia juga bisa memanfaatkan organisasi dan jejaring LSM (lembaga swadaya masyarakat) dalam negeri, yang kita tahu sebetulnya mayoritas didanai pihak asing. Hal inilah seharusnya yang menjadi fokus pembangunan intelijen saat ini.

Kasus penyadapan pembicaraan Presiden SBY oleh Australia pada saat yang lalu menjadi contoh nyata betapa rapuhnya system keamanan kita. Australia dan negara-negara lain dapat dengan mudahnya menyadap percakapan penting Kepala Negara, sudah barang tentu hal demikian sangat merugikan Negara. Bukan tidak mungkin bahwa data-data dan informasi intelijen yang ada dapat juga di retas oleh intelijen asing jika kondisi keamanan yang kita nilai tidak memadai tersebut.

Tugas penting sebagaimana disampaikan diatas, menjadi wajib hukumnya dimiliki oleh seorang calon kepala intelijen kedepan, karena harus mampu melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi kerja dalam hal perlindungan keamanan, dengan visi dan gagasan yang fresh dan cerdas.

Tantangan Ideologi Liberalisme dan Fundamentalisme

Pada era reformasi pasca runtuhnya orde baru, dan sejalan dengan kebebasan dalam demokrasi, kita dihadapkan dengan persoalan-persoalan baru yang teramat rumit. Bagaimana tidak, dalam era globalisasi ini derasnya pengaruh faham-faham liberalisme dan fundamentalisme secara bersama-sama berusaha merangsek masuk untuk merubah tatanan yang telah ada. Tentunya hal ini kita tidak bisa memandang secara sepele, manakala keberadaannya sendiri telah banyak menggerus bangsa ini dengan memaksakan faham-faham yang mereka anut dapat mempengaruhi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline