Lihat ke Halaman Asli

Mendukung RUU Pilkada: Dimana Nurani Politikmu?

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kedewasaan dalam berpolitik bangsa ini terus menerus diuji dan mendapat ujian. Setelah pelaksanaan Pilpres pada 9 Juli lalu yang penuh dengan ketegangan, yang telah memastikan langkah pasangan Jokowi – JK terpilih menjadi Presiden ke-7.  Kembali saat ini bangsa Indonesia sedang diuji nurani politiknya untuk terus memajukan bangsa ini dalam berdemokrasi. Pembahasan RUU Pilkada langsung yang menjadi polemic sejatinya adalah cerita lama yang dibuka kembali. Serasa sejarah reformasi yang ditempuh dengan segala perjuangan telah dihianati dengan disetujuinya RUU Pilkada oleh DPRD.

Setuju dengan apa yang disampaikan oleh Wagub DKI (Ahok), bahwa pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan oleh DPRD sejatinya hanya akan pemasungan hak politik rakyat, pejabat Daerah hanya akan menjadi sapi perahan anggota DPRD untuk memenuhi hasrat politik dan ekonominya saja. Proses pemilihan secara langsung memang membawa konsekwensi positif dan negatif, dimana sampai saat ini lebih dari 60% kepala daerah produk pilkada tersandung masalah korupsi, namun perlu kita sadari juga bahwa bahwa hasil pilkada langsung ini juga membawa dampak positif bagi rakyat, dimana rakyat dapat menetukan secara langsung figur-figur kepala daerah sesuai aspirasi mereka. Pilkada secara langsung juga telah memberikan ruang yang baik bagi anak negeri yang memiliki komitmen kebangsaan untuk menunjukkan kerja keras dan komitmennya untuk daerahnya. Adalah Jokowi, Ahok, Risma, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan masih banyak lagi kepala daerah yang memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik untuk membangun daerahnya masing-masing.

Persoalan korupsi yang sedang mendera kepala daerah saat ini sejatinya bukanlah dampak dari produk pemilihan langsung, namun merupakan persoalan yang tidak terintegrasi dengan proses tersebut. persoalan korupsi dinegeri ini sebenarnya tidak hanya terjadi di daerah-daerah saja, namun ini sudah menjadi wabah penyakit yang menasional. Deretan elit partai dan birokrasi pemerintahan pusat yang sampai saat ini telah diproses di KPK adalah buktinya. Justru tingkat korupsi yang menelan uang negara ratusan milyar bahkan triliunan seperti proyek-proyek hambalang, wisma atlet, migas, dan lainnya justru dilakukan oleh para elit partai dipusat.

Alasan lain direvisinya UU pilkada secara langsung dinilai oleh banyak pihak adalah hanyalah kegiatan menghambur-hamburkan uang saja itu memang benar, namun kondisi ini tentunya bisa disiasati dengan mengadakan pemilihan kepala daerah secara langsung, maupun strategi-strategi efiensi lainnya. Harus disadari secara bersama-sama, bahwa pilihan untuk menjalankan demokrasi memiliki konsekwensi logis akan besarnya biaya yang dihabiskan dalam rangka penyelenggarannya. Namun tidak serta merta dengan konsekwensi yang mahal tersebut lantas dengan serta merta memberangus hak politik rakyat untuk menentukan pemimpinnya.

Mendukung RUU Pilkada oleh DPRD dan Ambisi Politik Sesaat

Seperti yang kita ketahui saat ini, bahwa konstelasi politik nasional masih membara. Kekalahan dari gugatan MK  atas proses Pilpres kemarin tidak lantas membuat bangsa ini melakukan rekonsiliasi secara nasional, namun justru dendam politik berdampak pada proses-proses pengambilan keputusan yang lain. Pembahasan RUU Pilkada yang sebelumnya secara mayoritas menolak pelaksanaan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, namun saat ini justru mengalami perubahan konstelasi politik secara signifikan, dimana fraksi Gerindra yang pada awalnya menolak RUU tersebut saat ini justru malah mendukung RUU tersebut. Kondisi ini tentunya kita dapat baca dengan baik, penolakan ini dikomandoi oleh koalisi merah putih. Nampaknya kekalahan atas pilpres lalu masih menyisahkan dendam politik yang sebetulnya tidak beralasan sama sekali.

Konteks pertarungan antara Pilpres dengan persetujuan RUU harusnya dibedakan, karena produk yang dihasilkan pun berbeda. Disini dibutuhkan sikap kedewasaan dalam berdemokrasi, seharusnya mereka dewasa dalam melihat persoalan bangsa. Pilihan untuk menjalankan demokrasi Pancasila dan melaksanakan pemilihan secara langsung merupakan konsekwensi turunannya, sehingga semua pihak harus melihat persoalan ini dari sudut pandang yang lebih luas (kepentingan bangsa) bukan malah sebaliknya hanya menyalurkan ambisi dendam politik.

RUU Pilkada ini tidak hanya mencederai demokrasi namun juga merupakan langkah mundur dari bangsa Indonesia. Indonesia yang telah menjadi row model pelaksanaan demokrasi terbaik, ketika bangsa lain mulai belajar dan mengaplikasikan demokrasi seperti di Indonesia, justru bangsa Indonesia sendiri yang mengalami kemunduran dalam budaya politiknya sendiri.

Mungkin saat ini belum terlambat jika para elit politik wakil rakyat untuk berubah pikiran, dan mengunakan nurani sebagai anak bangsa untuk membatalkan niatannya untuk mengubah pilkada langsung menjadi pilkada yang dipilih DPRD. Kita sudah sudah selangkah lebih maju dengan menjadikan demokrasi ini sebagai pilihan terbaik untuk membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, masa hanya kepentingan sesaat dan pemuasan hasrat dendam politik semuanya akan menjadi sirna dan mengalami kemunduran lagi. Orde baru biarlah hanya menjadi cerita dan pelajaran agar bangsa ini tidak lagi terpasung dalam kondisi otoritarianisme kepemimpinan. Harapan dan cita-cita pembangunan bangsa harus menjadi prioritas utama dalam menatap masa depan bangsa, mari bersama-sama kita melakukan rekonsiliasi nasional dan melupakan pertarungan, sudah saatnya bangsa Indonesia bangkit dan Berjaya dari keterpurukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline