Lihat ke Halaman Asli

Menimbang Sikap Negarawan Pemimpin Bangsa

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1412255300827967122

[caption id="attachment_363463" align="aligncenter" width="600" caption="sumber: dpr.go.id"][/caption]

Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata negarawan berarti ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan: beliau merupakan pahlawan besar dan agung. Seorang negarawan harus mampu mengesampingkan kepentingan pribadi diatas kepentingan rakyat/negara.

Hiruk pikuk politik nasional yang kian hari kian riuh, dan banyak menguras energi ini, nampaknya belum mampu menampilkan negarawan-negarawan yang dirindukan rakyat. Justru banyak kita temui saat ini adalah para elit yang lebih mementingkan golongannya sendiri dibanding kepentingan rakyat yang lebih besar. Bahkan kita pun belum menemukan sesosok sekaliber SBY sebagai seorang negarawan sejati.

Orang sekaliber SBY dan Megawati, belum mampu menanggalkan egonya masing-masing dalam melihat persoalan bangsa secara utuh. Mereka masing-masing masih berdiri pada tataran golongan yang dibalut dengan sebuah ideologi.

Boleh jadi bangsa ini pada saatnya nanti akan hanya memproduksi pemimpin-pemimpin yang berfikiran sempit hanya sebatas kepentingan ideologi, kekuasaan dan ekonomi. Ketiadaan kebersamaan dan duduk bersama untuk turut membangun bangsa, merupakan sebuah indikator jelas dalam merekam itu semua.

Mungkin masih membekas dalam ingatan kita pada saat jelang reformasi 1998. Kita menemukan sesosok pemimpin bangsa yang mau untuk duduk bersama membahas nasib bangsa. Adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Amien Rais, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya. Mereka semua mampu dan mau duduk bersama membahas persoalan bangsa, dan saling “cangcut taliwondo” untuk bersama-sama mendorong sebuah reformasi terbentuk dan mendorong Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya secara elegant.

Namun 15 tahun reformasi ini berlalu, harapan-harapan yang disematkan untuk pembangunan bangsa untuk terwujudnya sebuah bangsa yang maju dan rakyat yang sehjahtera pun tidak kunjung terbentuk. Namun justru sebaliknya, nampaknya para elit politik saat ini mengalami degradasi moral kebangsaan, dan malah memperburuk situasi.

Tarik menarik kepentingan politik dan kekuasaan justru malah membuat mereka semua gelap mata. Geliat Pilpres pada saat yang lalu benar-benar membuka catatan buruk bagi perjalanan bangsa ini. Betapa tidak demi sebuah kekuasaan dan merebut pilihan rakyat, segala macam cara ditempuh. Dari mulai politik uang, kampanye hitam, menghasut, sampai pada taraf fitnah pun dianggapnya sebagai sebuah kewajaran. Rakyat dipecah belah dan dikotak-kotakkan. Bangsa menjadi gaduh, dan mengalami kegentingan situasi politik tidak terhindarkan, lantas kemana para negarawan itu berada?

Harusnya pasca Pilpres ini situasi kembali kondusif dan kembali ke meja masing-masing untuk tetap bersama-sama melanjutkan pembangunan nasional, namun apa yang terjadi? Kekalahan politik tidak menjadikan legowo justu malah membuat semakin gelap mata. Cita-cita reformasi, yang memiliki semangat mengembalikan kedaulatan penuh ditangan rakyat menjadi dirampas kembali. Kegaduhan politik terus menerus ditampilkan, yang seakan-akan bak drama yang berseri. Lantas kapan bangsa ini menemukan sebuah kedamaian kolektif?, lantas kapan rakyat ini bisa tenang untuk membangun ekonominya?, lantas kapan negara ini maju perekonomiannya?.

Pertanyaan-pertanyaan itu harusnya mampu dijawab oleh teman-teman, saudara-saudara yang diberikan amanah untuk melanjutkan perjuangan bangsa. Dan hendaknya, mereka tidak hanya berfikir partial kelompok, namun lebih luas lagi berfikir secara kolektif untuk membangun bangsa secara bersama-sama dan tidak gaduh.

Sikap negarawan bukan hanya berhenti dalam sosok, namun harusnya telah menjadi sikap, dan perilaku, sebagai pengejawantahan seorang pemimpin yang memperoleh kepercayaan rakyat. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline