Lihat ke Halaman Asli

Aksi Tolak Ahok: Terstruktur dan Terencana

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14129156351818294059

[caption id="attachment_365321" align="aligncenter" width="600" caption="sumber: pkspiyungan.org"][/caption]

Masih ingat kata-kata yang selalu digaungkan oleh KMP (Koalisi Merah Putih), dengan tagline Terstruktur, Terencana, Masif?. Tagline itu juga nampaknya pantas disematkan dalam aksi-aksi yang dilancarkan sebagian kecil ormas yang rasanya tidak pernah lelah menolak kepemimpinan DKI Ahok yang sebentar lagi akan dilantik mengantikan Jokowi yang telah menyatakan diri mundur dari posisinya sebagai Gubernur DKI.

Aksi penolakan Ahok sebagai gubernur mengantikan Jokowi sebagai presiden terpilih nampaknya terus mengalir dan tidak henti-hentinya dilancarkan. Bahkan beberapa saat yang lalu FPI (Front Pembela Islam) sempat membuat kerusuhan di depan gedung DPRD-DKI, yang tentu saja disayangkan oleh banyak fihak. Jika kita amati aksi-aksi yang dilakukan oleh beberapa ormas ini, nampaknya hanya dilakukan oleh ormas-ormas berbasis islam yang berseberangan dengan Ahok dalam berbagai hal saat ini.

Kekawatiran terhadap kepemimpinan Ahok kedepan sejatinya belum sepenuhnya dapat dibuktikan, justru sebaliknya, Ahok yang selama ini kita lihat masih bekerja dalam domain konstitusi yang ada. Alasan penolakan Ahok ini sesungguhnya tidak bisa diterima secara logika kita sebagai negara hukum dan berdiri dalam konstitusi demokrasi.

Lebih jauh lagi, jika kita mengkaji, sebagai warga negara Ahok memiliki hak untuk dipilih dan memilih, dan dalam tataran demokrasi, keterpilihan Ahok sebagai Wakil Gubernur mendampingi Jokowi pada waktu itu telah final dengan dibuktikan atas kemenangan lewat pemilihan kepala daerah secara langsung. Dengan demikian jika ditilik dari sisi perundang-undangan posisi Ahok saat ini memang secara konstitusional berhak untuk menduduki posisi Gubernur DKI manakala Jokowi mengundurkan diri sebagai gubernur.

Menilik kondisi demikian sejatinya, parlemen jalanan yang dibangun oleh ormas-ormas tersebut tidak memiliki kekuatan secara konstitusional untuk menolak pengangkatan Ahok untuk menjadi gubernur. Ahok hanya dapat diturunkan lewat mekanisme pemakzulan atas akibat kelalaian yang disengaja melakukan pelanggaran hukum.

Gerakan Terstruktur dan Terencana

Gelombang penolakan Ahok yang sebagian besar dilakoni oleh ormas-oramas yang berbaju islam ini, tentu mengundang kecurigaan. Betapa tidak, dari seluruh rakyat Jakarta sampai hari ini, tidak mempermasalahkan seorang Ahok. Namun justru sebaliknya, dalam sisi perubahan yang dilakukannya dalam kurun waktu 2 tahun terakhir banyak membuahkan perubahan-perubahan yang signifikan, bahkan ini membanggakan masyarakat DKI.

Kecurigaan bahwa aksi ini terencana dengan matang adalah ketika terjadi kerusuhan oleh FPI tempo lalu (baca disini), persenjataan dan perlengkapan demo seakan-akan direncanakan secara matang. Terlihat di TKP batu-batu dan kotoran (kotoran kuda) berserakan dilokasi, dan ditemukan banyak senjata tajam yang diamankan oleh pihak kepolisian.

Tidak berhenti di FPI bahkan hari ini direncanakan sebuah gerakan massa oleh ormas Forum Umat Islam (FUI) yang merencanakan melakukan aksi penolakan Ahok.

Jika kita telusuri asal muasal ormas tersebut, kenapa mesti ormas islam yang notabene memiliki track record buruk dalam setiap aksinya selalu menimbulkan kekisruhan. Apakah aksi ini memang di design oleh pihak-pihak tertentu yang memang sedari awal tidak setuju dengan keberadaan kepemimpinan Jokowi dan Ahok.

Ormas Islam Yang Rusuh Mencoreng Islam yang Rahmatan Lil Alamin

Gelombang penolakan Ahok yang berujung kesuruhan dalam setiap aksinya, tentunya ini sangat disayangkan, betapa tidak, kerusuhan-kerusuhan dalam menyalurkan aspirasi masyarakat bukanlah jiwa umat islam secara keseluruhan. Islam yang kita kenal di Indonesia adalah islam kultur yang mengedepankan toleransi dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Citra toleransi dalam umat beragama rasanya tercoreng dan menaburkan prasangka buruk dalam kerukunan umat beragama.

Jika saja mereka dalam aksinya tidak mengunakan atribut-atribut islam, tentunya kita tidak begitu menghiraukan, namun ketika mereka mengenakan atribut islam lantas membuat kerusuhan, kita justru risih dan tidak simpatik. Entah ini sebuah agenda politik ideologi ataupun kepentingan kekuasaan kita tidak bisa memastikan dengan jelas. Namun sangat disayangkan ketika dalam ormas-ormas islam tersebut berderet nama habib lantas melakukan kerusuhan, rasanya pukulan itu semakin telak dan menyakitkan umat islam.

Dalam tradisi Islam kontemporer yang berkembang di Indonesia, keberadaan seorang habib kita sangat hormati, dan kita tawadhu’ terhadap mereka karena nama tersebut tidak sembarangan disandang oleh orang. Namun ketika nama habib ini turut mendalangi kerusuhan, lebih-lebih urusannya bukan amar ma’ruf nahi mungkar, namun kekuasaan kita sungguh kecewa dengan itu.

Hendaknya sebagai seorang habib kewajiban menjaga marwah nasab Rassulullah teramat sangat penting. Karena yang kita pahami Nabi Muhammad dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar minim melakukan pendekatan kekerasan, justru mengedepankan kasih sayang. Dan tentunya figur nabi Muhammad sendiri pun yang kita kenal penuh kasih sayang dan justru diakui oleh banyak kalangan diluar islam sendiri sebagai seorang pembaharu yang mengedepankan akal dan budi pekerti yang luhur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline