Lihat ke Halaman Asli

Personal Balance Scorecard (PBSC): Sebuah Ruh Yang Sering Terabaikan

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14131874201554593320

[caption id="attachment_366081" align="aligncenter" width="600" caption="sumber: baixcorp.com"][/caption]

Tulisan saya ini saya dedikasikan kepada seorang sahabat dialektika saya, yang tiba-tiba memberikan semangat kepada saya untuk terus melanjutkan pembahasan tentang Personal Balance Scorecard (PBSC). Beliau seorang CEO dari Perusahaan Oil and Gas PT. Bayu Buana Gemilang (BBG), Bpk Ken Narotama Hidayatullah. Pada awalnya saya tidak memiliki keyakinan yang mumpuni untuk mencoba mengaplikasikan ide besar ini dalam diri pribadi saya terlebih lagi dalam sebuah Perusahaan.

Jauh sebelum saya bertemu beliau, saya pada tahun 2010 telah mulai berfikir tentang PBSC ini applicable atau tidak untuk diterapkan dalam sebuah entitas yang masih mengedepankan sebuah kebudayaan tradisional. PBSC ini sejatinya bukanlah sebuah kajian yang baru muncul, namun telah lama diaplikasikan pada perusahaan-perusahaan yang memiliki basis publik. Ketika dalam diskusi singkat saya dengan beliau, dan membaca grand design-nya, saya menjadi tergugah, ternyata ada cita-cita yang akan mendobrak kebiasaan (budaya) yang telah tertanam sejak lama, dan beliau berfikir dengan segenap energi luar biasa untuk mewujudkan itu.

PBSC sejatinya bukanlah barang langkah yang susah didapatkan, dan bukan pula barang yang haram untuk diamplikasikan. Sejatinya PBSC merupakan manifestasi perubahan budaya saja, dan sudah tentu perubahan budaya ini bergeser dengan pendekatan yang lebih moderat dan terukur. Dari kesimpulan atas apa yang saya coba dalami selama ini, sejatinya PBSC merupakan sebuah trobosan jalan tengah atas kebuntuan persoalan jenjang dalam sebuah organisasi, dimana didalam PBSC memiliki keterukuran nilai atas sebuah keterkaitan antara proses dan hasil.

Saya berpendapat, bahwa PBSC ini sesungguhnya adalah bentuk kompromi, antar jenjang visi antara bagian dalam organisasi. Dimana didalamnya dibutuhkan sebuah kesamaan visi dan tujuan.

PBSC Untuk Pribadi

Dalam sebuah buku yang di tulis oleh DR. Ir. Hubert K. Rampersad, menjelaskan betapa pentingnya sebuah PBSC bagi pribadi-pribadi dalam mewujudkan visi-misinya. Sejalan dengan pemikiran itu saya teringat dengan sebuah firman Allah SWT dalam surat Arrad Ayat 79 yang berbunyi: Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai mereka merubah diri mereka sendiri.

Tentunya jika kita membaca dan mendalami kandungan surat tersebut, dapatlah kita memahami bahwa PBSC ini merupakan sebuah upaya untuk merubah kondisi (nasib), dan melakukan re-engineering terhadap visi pencapaian seseorang. Dalam buku tersebut, sangat gamblang dijelaskan bahwa, tata kelola terhadap visi pencapaian sangatlah penting. Dalam tingkatan pencapaian yang dibangun dalam PBSC sangatlah kompleks dan mengandung value yang terukur didalamnya. Dengan demikian, kita akan sangat mudah dalam memberikan pembobotan atas tindakan dan perencanaan yang akan kita lakukan. Pada akhir dari tahapan itupun value nya sangat terukur, dan mampu menyajikan sebuah evaluasi yang menyeluruh atas argumentasi-argumentasi value dari pencapaian itu. Dengan demikian, PBSC memberikan panduan yang terukur dan sistematis dalam target-target pencapaian dan mampu memberikan jawaban atas seluruh persoalan, dengan logika.

Hal yang menarik untuk dipelajari dari PBSC ini adalah, adanya sebuah keterkaitan antara mental (hati) dan logika (pikir) dalam penerapannya. Dimana dalam mengawali pengunaan PBSC ini diperlukan sebuah kesiapan mental. Mental disini diartikan sebagai sebuah pencarian jati diri seseorang. Dengan pendalaman dan penelusuran kedalam diri seseorang diharapkan adanya sebuah penemuan identitas diri tentang siapa saya, untuk apa saya dihadirkan, mengapa harus saya yang dihadirkan, serta untuk tujuan apa saya dihadirkan. Sederet pertanyaan-pertanyaan itu terlebih dahulu harus mampu dijawab oleh diri kita sendiri. Terkait dengan hal itu ada ungkapan dari Norman Vincent Peale, bahwa “hidup dalam kedamaian batin, harmonis dan tanpa stress, merupakan jenis kehidupan yang paling mudah.” Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melakukan harmonisasi antara batin dan pola kehidupan yang kita jalani, sehingga kemudahan dalam menjalani kehidupan dan pencapaiannya tidak mustahil untuk segera dapat diwujudkan.

Tahapan selanjutnya, setelah kita paham tentang tujuan kita hidup, maka kita akan mulai merencanakan sebuah tahapan strategi-strategi PBSC selanjutnya. Dalam hal demikian, sesungguhnya PBSC merupakan sebuah trobosan yang brilliant dalam apliaksinya. Faktor keberhasilan dari pencapaian ini, PBSC memberikan sebuah standar. Standar yang diberikan oleh PBSC mencakup empat hal antara lain, perpektif keuangan, prespektif internal, perspektif eksternal dan perspektif pengetahuan dan pembelajaran. Jika dari keempat perspektif tersebut salah satunya tidak memenuhi maka membuat PBSC akan sulit untuk diaplikasikan.

Ada ungkapan yang menarik yang disampaikan oleh Mahatma Gandhi; Di Dunia ini ada tujuh dosa: kekayaan tanpa kerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, perdagangan tanpa moralitas, sains tanpa kemanusiaan, pemujaan tanpa pengorbanan, dn politik tanpa rakyat. Namun jika ketujuh dosa tersebut dapat ditepis dan kita mampu merubahnya menjadi kebalikannya, maka bukan tidak mungkin akan menciptakan sebuah derma atau pahala kehidupan yang pasti akan dicatat dalam sebuah tinta emas.

Kembali kepada pembahasan PBSC, sejatinya dalam rangka mewujudkan PBSC, tentunya kita tidak akan mampu bergerak secara sendiri-sendiri, namun membutuhkan sebuah koneksitas antara pribadi dengan pribadi lain, maupun pribadi dengan komunitas/lingkungan. Faktor eksternal ini sesungguhnya tidak bisa diabaikan begitu saja, justru faktor eksternal ini juga menjadi penentu dalam sebuah keberhasilan. ‘

Dengan demikian diluar tataran mikro (pribadi) dalam mewujudkan keberhasilannya, dibutuhkan sebuah singkronisasi antara mikro dan makro yang harmonis antara visi pribadi dengan pribadi yang lain, maupun dengan organisasi. Dengan demikian benturan kepentingan bisa dihidari, dan mampu secara bersama-sama mewujudkan visi dan mensukseskannya.

Sejalan dengan pola harmonisasi, selanjutnya menarik untuk dibahas, adalah bagaimana langkah-langkah pencapaian harmonisasi tersebut. dalam pembahasan ini akan kita tentukan polanya terlebih dahulu agar persepsi kita terlebih bisa sama. Kita akan membahas pola penerapan PBSC ini dalam sebuah lingkungan organisasi perusahaan. Organisasi/entitas Perusahaan ini menjadi factor yang fundamental dalam penentu keberhasilan pribadi. Selain sebuah komunitas dalam menjalani kehidupan, Perusahaan menjadi sebuah entitas tempat kita bergumul dalam mencari nafkah, mewujudkan/menunjukkan eksistensi diri, mengelola dan menambah ilmu pengetahuan, serta didalamnya juga terdapat tujuan-tujuan kompleks SDM yang ada didalamnya termasuk juga tujuan besar Perusahaan yang tentu saja harus dicapai.

Singkronisasi PBSC Pribadi dan Perusahaan

Sebagaimana disampaikan diatas, sebagai kumpulan orang-orang (komunitas), Perusahaan merupakan sebuah entitas kompleks yang didalamnya mengandung berbagai visi masing-masing orang dalam organisasi juga Perusahaan itu sendiri.

Dalam rangka mewujudkan visi Perusahaan, tentunya kita mahfum dengan tantangan-tantangan/target yang diberikan oleh perusahaan kepada pribadi-pribadi yang ada didalamnya. Berbeda dengan PBSC pribadi, PBSC Organisasi ini dibangun dengan pendekatan target pencapaian dengan metode pengukuran yang lebih kompleks.

Saya lebih nyaman, menyebut PBSC ini adalah sebuah budaya, karena nilai-nilai yang terkandung didalamnya harusnya menjadi kesepakatan umum, dan mampu dijalankan dengan senang hati. Jika budaya yang dibangun tidak sesuai dengan keinginan pribadi-pribadi dan tanpa kepatuhan dalam menjalankan niscaya akan sulit untuk dijalani dan akan cenderung menjadi hambatan.

Khusus untuk PBSC Organisasi Perusahaan selanjutnya saya lebih senang dengan menyebutkan sebuah “Budaya Perusahaan”. Alasan yang paling logis kenapa saya sebut PBSC sebagai budaya, karena sebagai sebuah kebudayaan, PBSC ini harus mampu mengakomodasi kepentingan atas keseluruhan entitas yang ada didalamnya, juga mampu menjadi jembatan dialog visi untuk mempersatukan kepentingan-kepentingan yang ada didalamnya. Baik itu kepentingan pribadi (karyawan & manajemen), kepentingan perusahaan, dan kepentingan yang kompleks lagi antara perusahaan dan pribadi. Kepentingan-kepentingan yang ada harus terakomodasi dengan baik sehingga mendorong keberhasilan semua entitas dan Perusahaan. Sebagai budaya, PBSC ini harus dipahami sebagai sebuah tata nilai, dimana tata nilai ini mengandung sebuah norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, dan penyelarasan perilaku berfikir serta tindakan semua yang ada didalamnya.

Idealnya, Perusahaan harus mampu menjadi sebuah kapal yang mampu mengantarkan seluruh penumpangnya kepada tujuannya masing-masing. Tujuan bersama ini akan menciptakan sebuah pergerakan dan daya dukung yang kuat dalam menjalankan kapal tersebut dalam upayanya mencapai tujuan. Sebagai sebuah kapal, niscaya akan mampu mencapai tujuan jika elemen-elemen didalamnya tidak berperan secara efektif sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Peran yang diambil oleh masing-masing awak kapal pun seharusnya dijalankan dengan penuh kesadaran dan kegembiraan tanpa beban, karena didalamnya ada semangat pribadi untuk mencapai tujuan. Oleh masing-masing awak kapal harusnya telah terjadi singkronisasi dengan baik mengenai fungsi dan tugasnya masing-masing. Dengan demikian benturan-benturan yang terjadi dapat dihindarkan.

Perlunya adanya singkronisasi disini adalah agar terjadi sebuah dialog visi untuk menyambungkan antara visi pribadi dan Perusahaan. Dengan terjadinya dialog antara kedua belah fihak maka akan tercipta sebuah tata nilai yang menjadi kesepakatan bersama. Tata nilai yang kita maksud disini adalah sebuah kesepakatan-kesepakatan untuk menentukan tujuan bersama, dan biasanya berbentuk reward punishment yang berhubungan dengan target masing-masing.

Dalam prakteknya, Perusahaan sering blunder dengan tata nilai yang diterapkan sendiri bahkan cenderung memaksakan kepada entitas yang ada didalamnya. Tentunya hal ini maklum untuk dimengerti, karena visi perusahaan sendiri adalah dibangun untuk menciptakan profitabilitas yang baik. Namun sekali lagi, alangkah baiknya, jika dalam tataran pencapaian tujuan perusahaan, dapat dibangun sebuah dialog visi, yang dapat menjembatani antara visi perusahaan dan visi pribadi. Inilah yang kita sebut sebagai pembentukan kesepakatan bersama dan nantinya akan menjadi sebuah budaya.

Mudah-mudahan pemikiran awal ini mampu membuka jembatan selanjutnya, dalam rangka secara bersama-sama melakukan penataan baik secara Entitas Perusahaan maupun sebagai Entitas sebagai Perorangan (karyawan), sehingga mampu tercipta sebuah pencapaian visi dan misi secara bersama-sama dan sudah barang tentu akan mendorong fungsi perusahaan menjadi rahmat bagi sesamanya yang dijalankan dengan penuh kegembiraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline