Lihat ke Halaman Asli

Penilaian Sikap yang Gila

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Lalu untuk apa deskripsi tentang nilai sikap di rapot versi K.13?"

Demikian celetukan seorang Kepala Bidang Pendidikan Menengah di suatu daerah. Saya sempat heran mengapa beliau yang notabene mengurusi masalah pendidikan menengah terkesan mempertanyakan manfaat kolom "deskripsi" di dalam rapot versi K.13 tersebut. Bukankah sudah jelas bahwa "deskripsi" menerjemahkan penilaian (dengan huruf, misal "A", "AB", dst) lewat keterangan mengenai sejauh mana ke-positif-an sikap siswa?

Karena beliau terlanjur meledakkan rasa ingin tahu saya, percakapan mulai berlangsung seru dan kadang eyel-eyelan.

Secara ideal, begitu ujarnya, penilaian sikap dilakukan dengan observasi saat pembelajaran. Ditambah dengan jurnal yang berfungsi menampung aspek lain, yang tidak sempat muncul saat obervasi di lapangan. Konsekuensinya, selain melakukan pembelajaran dengan berbagai macam metode,  inovasi-inovasi pembelajaran lain serta menyampaikan(?) materi pelajaran, guru juga ketambahan tugas mengamati sikap siswa-siswanya.

Tugas ini berat dan sinting "gila".

Saya nyaris tidak bisa membayangkan betapa harus multi-tasking si guru itu. Seandainya yang ideal berjalan normal, tentu tak masalah. Akan tetapi, bagaimanapun, guru itu manusia yang processing otaknya terbatas dan punya tingkat kejenuhan terbatas pula. Saya katakan demikian, karena selain mengajar ia perlu mengamati dan "curi-curi pandang" tiap siswanya.

Berarti bisa jadi jelas bahwa dengan tanggung jawab menyampaikan(?) mapel kepada sekelompok siswa (30-an tiap kelas), juga tuntutan agar materi tersebut mampu membangkitkan daya kritisnya, guru hendaknya: punya jiwa "pengabdian", kesediaan berkorban waktu, tenaga, dan biaya, serta kesabaran (dan mungkin segi lain).

Saya menangkap kata "pengabdian" secara enteng saja, mungkin mereka yang bukan pendidik berpikiran demikian. Lalu melempar kata itu dan melekat pada guru. Saya pikir tindakan saya tidak adil, karena pengabdian macam apa yang dilakukan guru, saya belum bisa merasakan hingga hati "nyeri". Dengan demikian empati saya masih kurang.

Percakapan terus berlanjut.

Penilaian sikap rupanya masih dibagi lagi menjadi beberapa aspek. Sehingga setiap siswa memiliki beberapa aspek sikap yang perlu diamati guru dan dicatat perkembangannya. Dalam satu kelas ada sekitar 30 anak, dan masih kurang beruntung lagi bagi guru yang mengajar lebih dari satu kelas.

Akankah penilaian itu valid dan reliabel? Saya kira tidak. Bukan karena guru tidak mumpuni, tetapi sejak awal limit manusia pendidik itu sudah diterjang. Mengamati lalu menilai sejumlah besar anak adalah tugas berat dan "gila". Dan karena itu adalah tuntutan kurikulum, yang adalah bagian dari sistem pendidikan, maka guru harus melakukannya. Gilakah guru? Tidak!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline