Lihat ke Halaman Asli

Dokter dalam Jeruji Imagi (?)

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13856039541172907021

Saya buka jejaring sosial, twitter, facebook, dan blog kemarin, ternyata begitu banyak bertebaran informasi terkait dengan demonstrasi para dokter di seluruh Indonesia. Tidak hanya di kota-kota besar, tapi di kota-kota kecil dan dokter Puskesmas pun turut aksi mogok. Sekalipun tidak 100% mogok total, banyak pandangan masyarakat terkait demo dokter tersebut. Ada pro dan kontra. Ada yang membela mati-matian, ada juga yang menghujat habis-habisan. Kasus ini bermula dari keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan jaksa yang menolak keputusan Pengadilan Negeri Manado bahwa ketiga terdakwah tidak bersalah. MA menyetujui pandangan jaksa yang menuntut 10 bulan penjara terhadap tim dokter yang terdiri dari dr. Ayu, dr. Hendry, dan dr. Hendy yang dianggap lalai ketika melakukan bedah sesar. Bayi selamat, tetapi ibunya meninggal dunia. (Lengkapnya lihat di sini.) Saya bukan pakar hukum, sehingga saya ingin mencermati ini secara sosiologis dimana banyaknya pandangan masyarakat yang tidak setuju dengan aksi yang dilakukan oleh dokter, minimal ini yang saya lihat di jejaring sosial (facebook dan twitter). Bahkan ada yang mendukung keputusan MA tersebut. Mereka juga memandang demo mogok para dokter sebagai tindakan yang mempermainkan nyawa manusia. (lihat di sini) Melihat hal tersebut seperti ada jarak yang cukup tajam antara dokter dengan masyarakat umum yang menggunakan jasa layanan kesehatan mereka (baca; pasien). Relasi ini seperti api dalam sekam, terlihat seperti harmonis, tetapi menyimpan bara yang siap meledak kapan pun. Sepanjang pantauan saya, kebanyakan yang mendukung dokter jika bukan kerabat/familinya, ya mereka yang berprofesi secara langsung sebagai dokter. Sisanya, tidak setuju, menghujat, dan minimal apatis, tidak mau tahu. Why? Pernahkah, ketika dukun beranak di kampung-kampung, gagal menyelamatkan nyawa ibunya, dihukum ramai-ramai?. Jangan-jangan ada relasi yang salah antara dokter dengan masyarakat umum (baca; pasien)? Berapa banyak masyarakat umum yang mendukung? Bukankah yang mengobati atau tempat berobat masyarakat umumnya kepada dokter? Apakah yang salah dalam relasi tersebut? Jejaring Imagologisasi "Dokter". Ketika kata itu disebut, ada bayangan gambar di setiap imaji seseorang yang mendengarnya. Coba tanya, apa yang anda bayangkan ketika menyebut dokter?. Rata-rata mereka yang saya tanya menjawab, "kaya", "terhormat", dll. Bahkan ada yang menarik pernyataan seorang rekan saya. "dia kan ada dokter, pasti kaya tuh". Dokter benar-benar dilekatkan dengan materi. Menurut penulis, imagologisasi (proses pembentukan citra) dokter sebagai kelas menengah dan kaya terbentuk luas di masyarakat. Itulah bingkai dokter di masyarakat. Salah satunyaadanya eksklusivitas dan deferensiasi kelas sosial profesi dokter. Sejak menempuh pendidikan, deferensiasi kelas sosial dokter dengan non-dokter sudah terjadi. Anak-anak fakultas kedokteran dianggap lebih wah, mewah dan hebat secara ekonomi dibandingkan mahasiswa jurusan lainnya. Selain dianggap kaya, mahasiswa kedokteran umumnya anggapan masyarakat secara IQ dianggap lebih unggul dibandingkan dengan mahasiswa fakultas yang lain, apalagi dengan fakultas sosial yang sering dianggap sebagai ilmu common sense. Biaya mahal menempuh pendidikan kedokteran memberikan efek domino muncuatnya citra tersebut. Efek imagologisas karena biaya pendidikan kedokteran mahal akhirnya mempengaruhi pergaulan sosial. Sisi lain, praktik ini membentuk eksklusivitas mahasiswa kedokteran terhadap mahasiswa di luar dokter. Efek domino ini tidak hanya terjadi secara eksternal, tapi juga mempengaruhi persepsi mahasiswa kedokteran terhadap diri mereka sendiri. Mereka pun menganggap diri mereka lebih wah dibandingkan mahasiswa fakultas yang lain. Jika Anda dokter atau mahasiswa dokter merasakan seperti itu kan? Ini tidak hanya meneguhkan citra, tapi juga habitus. Akhirnya pada satu sisi, para dokter juga membentuk habitus di dalam diri mereka untuk melakukan pembedaan dirinya dengan masyarakat umum secara sosial. Dokter punya kelompok sendiri, kelas sosial sendiri, budaya sendiri, dan lain sebagainya. Misalnya, kebanyakan para dokter yang memiliki anak dokter, menginginkan menantunya juga dokter. Atau Anda yang berprofesi dokter, lebih ingin berpasangan dengan sejawat bukan?. Sisi yang berbeda, imagologisasi dokter yang kaya, melahirkan citra bahwa dokter selalu bahagia dengan gelimangan harta mereka. Dokter semakin berjarak dengan masyarakat. Selain itu arus globalisasi yang demikian kuat dengan sistem ekonomi yang kian liberal, tidak hanya dunia pendidikan, tetapi juga dunia kesehatan dipaksa bergerak ke arah privat; murni bisnis. Rumah sakit pun mulai bergerak menjadi perusahan penyedia kesehatan yang sepertinya hanya melayani pasien jika ada uang. Sisi lain, rumah sakit harus mendatangkan profit untuk menggaji karyawannya (dokter, perawat, cleaning service, dll). Tanpa itu, rumah sakit akan colaps. Pola industrialisasi tersebut kemudian menggeser relasi dokter dengan pasien seperti relasi penjual dan pembeli, yakni penjual jasa kesehatan dengan pembeli jasa kesehatan. Pasien memandang hubungannya dengan dokter tidak secara kemanusiaan, tapi relasi penyedia dan pengguna atau penjual dan pembeli. Pasien merasa dokter itu wajib menolongnya karena sudah dibayar, sementara dokter (mungkin) merasa wajib menolong pasiennya karena sudah membayar. Hal inilah yang kemudian memberikan jarak antara pasien dengan dokter. Dokter mungkin benar-benar murni ingin menolong secara kemanusiaan dan tidak berfikir tentang profit yang mereka terima. Setahu saya gaji mereka pun tidak besar. Tapi industiralisasi kesehatan yang mulai demikian meluas mengorbankan citra dokter, sehingga dokter yang menanggung dampak buruknya. Seperti industrialisasi pendidikan, guru/dosen yang menanggung keburukannya. Padahal, banyak pelaku industrialisasi kesehatan (baca; pemilik saham rumah sakit) bukan dari dokter, tapi murni pengusaha. Itulah kemudian yang menjadikan antara dokter dengan masyarakat seperti berjarak yang luar biasa. Demonstrasi mogok yang dilakukan oleh para dokter tentu memberikan dampak terhadap masyarakat. Tanpa mengurangi rasa duka atas musibah meninggalnya pasien, saya berharap MA meninjau kembali dan mencabut keputusannya sesuai dengan keputusan Pengadian Negeri Manado bahwa tim dokter tidak bersalah. Dokter semoga bisa memberikan layanan kemanusiaan yang lebih baik, jika pun ada dokter yang nakal, harus ditindak secara hukum. Semoga banyak pelajaran yang diambil dari masalah ini. Salam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline