Lihat ke Halaman Asli

agus hendrawan

Tenaga Kependidikan

Melepaskan Tanah untuk Pelestarian Situs Eyang Rangga Marta Yuda: Langkah Mendukung Warisan Leluhur

Diperbarui: 20 Oktober 2024   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Waglo Gubuk Apung


Pengantar

Dalam setiap perjalanan hidup, kita sering kali dihadapkan pada pilihan penting yang bukan hanya berpengaruh pada diri sendiri, tetapi juga pada masyarakat dan sejarah. Begitu pula dengan pengalaman keluarga kami yang memiliki sebidang tanah di Cisalak, Subang, Jawa Barat, yang berbatasan dengan pemakaman Eyang Rangga Marta Yuda, tokoh besar pada masa kolonial Belanda. 

Pilihan untuk melepaskan tanah tersebut demi pelestarian situs sejarah tidaklah mudah. Namun, demi menjaga warisan leluhur dan mendukung nilai budaya, saya menilai harus dilakukan dengan prosedur yang benar.

Tanah disamping makam Eyang Rangga kami jadikan makam keluarga (dokpri)

Siapakah Eyang Rangga Marta Yuda?

Berdasarkan penuturan dari keturunan ahli waris, Eyang Rangga Marta Yuda merupakan seorang abdi dalem pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan memiliki peran penting di wilayah Cisalak-Subang. Bahkan, dokumentasi sejarah mencatat keterlibatan beliau di bawah Tuan Hofland, seorang pejabat kolonial pada masa itu. Eyang Marta Yuda juga dikenal karena mewakafkan kompleks di mana beliau dimakamkan sebagai pemakaman umum bagi masyarakat setempat.

Menurut penjelasan ahli waris, catatan tertulis mengenai wakaf ini tersimpan dengan baik dalam arsip Belanda dan diterjemahkan dari naskah beraksara Palawa. Informasi ini diperkuat melalui wawancara dengan pihak keturunan Eyang Rangga Marta Yuda yang dilakukan di depan situs makam Eyang Rangga Marta Yuda, yang menunjukkan betapa pentingnya beliau bagi sejarah dan kebudayaan setempat.

Dilema Pemilik Tanah: Antara Kepentingan Pribadi dan Pelestarian

Ketika tanah keluarga kami diklaim masuk dalam area pemakaman Eyang Rangga Marta Yuda, muncul dilema besar. Di satu sisi, kami telah memiliki sertifikat tanah yang sah dan legal dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun di sisi lain, kami menyadari bahwa tanah tersebut memiliki nilai historis dan budaya yang jauh lebih besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline