Lihat ke Halaman Asli

agus hendrawan

Tenaga Kependidikan

Menyoal Kontestansi Perempuan dalam Pilkada

Diperbarui: 4 September 2024   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perempuan menjadi pemimpin atau menjabat suatu jabatan itu sangat bagus, dia bisa menggunakan naluri keibuannya dalam memimpin. Tapi hal ini menjadi masalah ketika kebiasaanya di kantor terbawa kedalam kehidupan pribadi atau rumah tangga.

Saya banyak mengamati perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga yang akhirnya menggantikan posisi suami yang seharusnya, mengakibatkan keretakan dalam keluarga. Kalau suaminya bisa nerima dan menyesuaikan diri tidak ada masalah meski dimata masyarakat kelihatan janggal saja seorang suami yang mengandalkan istrinya dalam hal mencari nafkah. Atau setidaknya penghasilannya di bawah Sang istri.

Hal inilah yang sering menjadikan konflik dan tidak sedikit yang mengakibatkan sebuah perceraian, kalau sudah begitu anaklah yang menjadi korban. Ada seorang teman memperistri wanita lulusan SMA dari kampung pedalaman, seiring perjalanan waktu Sang istri bekerja dan kuliah kembali sehingga berhasil mendapatkan jabatan tinggi, Sang Suami yang hanya berstatus buruh akhirnya di gugat cerai sedang Si Wanita menikah lagi dengan lelaki yang lebih kaya.

Tapi kejadian di atas tidak bisa dijadikan patokan Pemirsa, saya punya saudara seorang wanita cantik berpendidikan dan berstatus sebagai PNS. Dia bersuamikan teman kuliahnya yang kebetulan nasibnya kurang beruntung dia jadi pengangguran, tapi Sang istri sangat setia mendampingi Sang Suami dan menjadikan suaminya sebagai raja dalam hidupnya.

Perempuan yang menjadi pemimpin dalam berbagai aspek kehidupan, baik di tempat kerja maupun di rumah, memiliki kemampuan yang unik untuk membawa perspektif berbeda dalam cara mereka memimpin dan mengambil keputusan. Naluri keibuan yang mereka miliki sering kali membuat mereka lebih empatik, peduli, dan terhubung secara emosional dengan orang-orang di sekitarnya. 

Hal ini bisa menjadi kekuatan besar dalam kepemimpinan mereka, karena mereka cenderung lebih memperhatikan kesejahteraan tim, mendengarkan masukan dari berbagai pihak, dan berusaha menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan kolaboratif.

Namun, tantangan muncul ketika peran kepemimpinan yang dijalankan di tempat kerja turut mempengaruhi kehidupan pribadi mereka, terutama dalam konteks rumah tangga. Ada situasi di mana perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga akhirnya harus memainkan peran ganda, yakni sebagai pemimpin di luar dan di dalam rumah. 

Hal ini bisa menimbulkan ketegangan jika pasangan mereka tidak siap atau tidak mampu menyesuaikan diri dengan dinamika tersebut.

Tidak sedikit kasus di mana perbedaan pendapatan antara suami dan istri menimbulkan masalah. Ketika seorang perempuan menjadi penghasil utama dalam keluarga, ada anggapan dari sebagian masyarakat bahwa ini adalah peran yang tidak wajar bagi seorang istri, sehingga dapat mengganggu keseimbangan hubungan mereka. 

Terkadang, hal ini menyebabkan suami merasa kehilangan harga diri atau martabatnya, terutama dalam kultur yang masih memegang erat peran tradisional gender, di mana laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama.

Di sisi lain, ada pula banyak kisah sukses di mana perempuan yang memiliki karier cemerlang dapat tetap mempertahankan keharmonisan rumah tangganya. Misalnya, seorang perempuan yang berpendidikan tinggi dan memiliki jabatan tinggi tetap setia dan menghormati suaminya yang mungkin berpenghasilan lebih rendah atau tidak bekerja. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline