Lihat ke Halaman Asli

agus hendrawan

Tenaga Kependidikan

Jejak Semu di Ujung Senja

Diperbarui: 28 Agustus 2024   15:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Jejak Semu di Ujung Senja

Di sebuah desa kecil yang tersembunyi di lembah pegunungan, hiduplah seorang gadis bernama Rengganis. Rengganis adalah gadis yang sederhana, dengan mata teduh yang dalam dan senyum yang selalu terkulum meskipun hidupnya seringkali tidak bersahabat. 

Desa tempat tinggalnya yaitu Desa Kiara, adalah desa yang tenang. Pepohonan tinggi berdiri megah di sekelilingnya, dan sebuah sungai kecil mengalir meliuk-liuk di bawahnya seperti seutas benang perak yang memotong hijaunya lembah.

Rengganis memiliki kebiasaan berjalan sendirian ke ujung desa setiap kali senja tiba, dia senang melihat matahari terbenam di balik perbukitan yang menyisakan langit yang memerah. 

Seolah-olah ada pelukis yang dengan sengaja menumpahkan cat jingga di atas kanvas biru di ujung senja itu, Rengganis merasa semua beban dan keresahannya menguap bersama angin yang berhembus lembut.

Namun, ada satu tempat yang selalu membuatnya merasa terlarut dalam pusaran kenangan. Sebuah pohon beringin tua yang berdiri di pinggir desa, dengan akar-akarnya yang menjuntai seperti lengan yang ingin mencengkram dasar bumi. 

Di bawah pohon itulah dahulu ia sering bermain bersama kakaknya, Rangga. Tetapi semuanya berubah sejak kecelakaan itu, Rangga pergi tanpa sempat mengucap kata terakhir meninggalkan ruang kosong di hati Rengganis yang tak pernah benar-benar terisi.

Malam itu, Rengganis duduk di bawah beringin tua. Angin dingin pegunungan berdesir, membuat dedaunan beringin bergemerisik. Dia memandang ke langit yang mulai meredup, bintang-bintang kecil satu per satu bermunculan, seperti kunang-kunang yang menggantung di langit. 

Tiba-tiba dia mendengar suara gemerisik lain, bukan dari daun tapi dari balik pohon.

“Siapa di sana?” tanya Rengganis, suaranya sedikit bergetar. Di desa yang kecil dan akrab ini, jarang ada orang berkeliaran di luar rumah selepas senja.

Lalu dari balik bayangan pohon, muncul seorang anak lelaki. Wajahnya pucat, matanya lebar, dan pakaiannya kumal. "Namaku Sakti," katanya dengan suara pelan, nyaris berbisik. "Aku tersesat."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline