Lihat ke Halaman Asli

Bunga Merah Media Sosial

Diperbarui: 25 Oktober 2018   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Media sosial itu berisik, dipertontonkanlah jiwa-jiwa gelisah. Para pelaku medsos berbicara dalam hati bersahut-sahutan dalam berbagai tulisan dan gambar-gambar, menempa kepala setiap orang yang membacanya, bahkan tanpa tahu kebenaran sesungguhnya. Medsos itu melalap semua orang.

Dalam film the Jungle Book yang diangkat dari karya Rudyard Kipling,mengisahkan tentang cerita fabel, dimana semua hewan merasa menjadi rantai makanan nomor dua setelah manusia, karena manusia memiliki 'bunga merah' (sebutan para hewan untuk api).

Api menjadi senjata paling ampuh dalam menundukkan hewan lainnya, jika manusia bisa berkuasa atas kawanan hewan, itu disebabkan manusia bisa menciptakan bunga merah. Para hewan juga ingin memilikinya seperti halnya manusia, agar bisa berkuasa ditengah hutan. Hanya mereka tidak punya pengetahuan untuk menciptakan bunga merah.

Terminologi media sosial bisa saja disamakan dengan bunga merah alias api untuk era sekarang. Bisa jadi pemilik media sosial dengan pengikut banyak, seolah-olah memiliki bunga merah seperti dalam film The Jungle Book. Dengan memiliki api, bisa saja segala sesuatu terbakar, bahkan hutan luas sekalipun.

Asumsi-asumsi para pemilik akun itu belum tentu benar, mereka melemparkannya keluar seperti bola api dilempar begitu saja, sebagian menjadi terbakar, sebagian berupaya memadamkan api sebisanya. Tetapi, sifat api yang mudah merembet berbeda dengan air yang mudah merembes. Kejar-mengejar.

Kamu bisa pastikan dengan angin secukupnya, hutan luas bisa saja terbakar. Hutan menjadi kobaran, maka sejak saat itu, boleh jadi para penduduk didalam hutan menjadi gelisah, karena gelisah maka timbullah asumsi-asumsi baru, bukan berdasarkan kenyataan.

Maka perang urat syarafpun dimulai, saya kira asal-muasal huru-hara dimuka bumi itu dimulai dengan perang syaraf yang menular menjadi saling mencurigai satu sama lainnya. Hingga seperti yang dikatakan Kyai Husein Muhammad "Kita melihat betapa masih banyak orang yang amat sulit memberi tempat 'untuk orang lain',apalagi menyambutnya."

Hal yang paling dekat dalam interaksi sosial adalah bersikap menyambut tetangga dengan kasih sayang dan penghormatan, mempersilahkan para tamu berkunjung ke rumah kita. Persoalannya, akun medsos dalam kacamata sebagian orang bukanlah rumah seperti 'rumah sesungguhnya', para pemilik akun itu tidak akan menyambut kamu layaknya tamu. Suka silahkan follow, tidak suka silahkan unfollow. Tidak ada kedekatan emosional, sebab mereka bertinteraksi tanpa bertemu secara substantif.

Jadi, mau bagaimana kita bisa menyandarkan media sosial sebagai sarana 'saling mengenal?' sementara setiap orang menjadi 'gaib?'




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline