Lihat ke Halaman Asli

Agus Ghulam Ahmad

Penulis lepas

Membaca Ulang Kisah Musa-Khidir

Diperbarui: 15 September 2021   15:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: canva.com

Salah satu kisah yang sering diulang-ulang di pesantren adalah kisah perjalanan Musa bersama Khidir. Saking seringnya, sampai-sampai banyak yang hafal alur ceritanya.

Konon Musa berguru pada Khidir, seorang hamba alim. Khidir setuju Musa ikut bersamanya dengan syarat: tidak usah komplain dengan apa yang dilihatnya nanti, sampai Khidir sendiri yang menjelaskannya. Meski sudah sepakat, toh akhirnya Musa geregetan juga dengan tingkah laku Khidir selama perjalanan.

Akhir cerita, sebelum berpisah, Khidir menjelaskan maksud di balik hal-hal yang membuat Musa tak bisa bersabar. Lalu seperti biasa, setelah itu guru yang menerangkan di depan akan menyuruh murid-murid mengambil hikmahnya. Bahwa jangan melihat sesuatu dari luar saja. Bahwa ada maksud dan tujuan di balik perilaku guru yang tak diketahui muridnya. Kadang ditambahi dengan embel-embel, jadi murid harus sam'an wa tho'atan, mendengarkan dan manut, "Apa yang dibilang guru, murid manut saja tanpa perlu bertanya."

Kalau dipikir, ironi bukan? Musa yang diuji dengan kaumnya yang tukang tanya, berpisah dengan Khidir karena ia sendiri banyak bertanya.

Sejak lama saya mikir, apa tak ada hikmah lagi di balik kisah ini, selain pembenaran atas perbuatan Khidir? Mungkin saja sebenarnya Musa sedang mengajarkan kita sesuatu yang penting dalam proses belajar-mengajar, yaitu: bertanya. Maka saya rasa ada perbedaan yang kentara sekali, antara pertanyaan Musa kepada Khidir, dengan pertanyaan Bani Israil kepada Musa. 

Yang pertama bertanya terhadap sesuatu yang memang perlu dipertanyakan (Anda gila jika diam saja melihat bocah dibunuh di depan mata Anda). Lalu yang kedua, bertanya yang tidak perlu. Jelas-jelas diperintah sembelih sapi betina, malah ditanyakan warnanya apa? Ini kan basa-basi.

Jika kita ingin berkembang, maka tirulah Musa. Ia tak segan-segan bertanya akan sesuatu yang tidak jelas, walau dengan risiko ditinggalkan gurunya. Lalu dalih sam'an wa tho'atan tidak semata-mata langsung ditelan bulat-bulat. Antara mendengar dan taat, harusnya ada proses berpikir di tengah-tengahnya. Kalau manut terus, lalu kapan mikirnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline