Lihat ke Halaman Asli

(Resensi) Life Of Pi, Sebuah "Ketidakberhinggaan Makna" Dalam "Keberhinggaan Ruang-Waktu"

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1354693551521899344

[caption id="attachment_212902" align="aligncenter" width="300" caption=""][/caption] Salam Sejujurnya, sebelum memasuki gedung bioskop, saya sama sekali buta dengan novel “Life of Pi” karya Yann Martel yang dirilis tahun 2001 silam. Saya tertarik menonton setelah melihat trailer-nya yang cukup menjanjikan dan mengetahui bahwa film yang didistribusikan oleh 20th Century Fox ini disutradarai oleh seorang Ang Lee. Akhirnya pada rabu malam kemarin saya memutuskan untuk menonton film ini. Cerita dimulai di Kanada, saat seorang penulis novel (Rafe Spall) mengunjungi seorang imigran India yang bernama Piscine Molitor (Irfan Khan). Si penulis menginginkan sebuah kisah nyata yang spektakuler dari Pi, panggilan Piscine, untuk bahan novelnya. Kisah pun berlanjut dan berkembang ketika Pi mulai menceritakan kisah hidupnya kepada sang penulis. Pi adalah anak kedua dari dua bersaudara dan memiliki masa kecil yang relatif bahagia dengan kedua orang tuanya, Santosh Patel (Adil Hussain) dan Gita Patel (Tabu), serta kakak laki-lakinya. Keluarga ini memiliki sebuah kebun binatang di Pondicherry, India. Di bagian masa kecil ini diperlihatkan bagaimana ketertarikan seorang Pi terhadap agama-agama seperti Hindu, Kristen, dan Islam. Bahkan dengan polosnya Pi berusaha memeluk tiga agama ini sekaligus. Seiring berjalan waktu, Pi tumbuh menjadi remaja normal (Suraj Sharma) dengan segala dinamika kehidupan, termasuk kisah asmaranya dengan seorang penari bernama Anandi (Shravanthi Sainath). Kehidupan mereka tampak tetap berjalan normal hingga terjadi masalah politik yang mengancam keberlangsungan kebun binatang milik keluarga Pi. Setelah rapat yang alot, keluarga ini dengan berat hati memutuskan untuk mengungsi ke Kanada beserta hewan-hewan kebun binatang mereka untuk memulai kehidupan yang baru. Namun, malapetaka pun terjadi. Kapal kargo berbendera Jepang yang mereka naiki karam oleh badai si Samudera Pasifik dan hanya menyisakan Pi, seekor harimau Bengali bernama Richard Parker, seekor dubuk, seekor, orang utan, dan seekor tikus di sebuah sekoci penyelamat. Satu persatu, penghuni hidup sekoci hanya menyisakan seorang Pi dan seekor Richard Parker. Maka dimulailah kisah luar biasa yang melibatkan mereka berdua untuk tetap survive menghadapi rintangan yang menghadang di “Lautan Teduh”. Dalam tulisan resensi ini saya tidak berusaha untuk me-review sisi teknis film ini (yang sangat luar biasa eksekusinya, baik oleh sutradara, kru teknis, maupun di departemen peran). Tulisan saya hanya mencoba untuk menafsirkan “makna besar” dari film berdurasi 127 menit ini, tentang apa sebenarnya arti dari “Kehidupan Seorang Pi”. Mula-mula, apa sebenarnya arti nama Pi? Nama Pi sebenarnya digunakan Piscine untuk mengganti namanya yang dipelesetkan menjadi “Piss” (pipis/kencing) oleh teman-teman masa kecilnya. Namun lebih dari itu, “Pi” disini kenyataannya menggambarkan sejumlah angka tak berhingga yang yang seperti kita tahu merupakan hasil perbandingan antara keliling dan diameter lingkaran sempurna. Bahkan seorang Pi diceritakan sewaktu kecil mampu menghapal ribuan angka di belakang koma dari “pi” (“π” dalam abjad Yunani yang bernilai = 3,14…sekian, sekian, sekian…..) dan menulisnya di papan tulis kelas. Dalam sebuah adegan ketika dalam keputusasaan di sekoci, diantara sadar dan tidak Pi masih sempat mengigau tentang angka-angka “π” tadi. Bagi saya, “pi”/“π” sebagai simbol abjad dan matematika yang bersifat fisikal-terbatas, namun mampu “menampung” nilai angka yang tidak terhingga, adalah intisari dari film ini. Bagaimana “KETIDAKBERHINGGAAN MAKNA” mampu ditampung oleh “KEBERHINGGAAN RUANG-WAKTU” dipaparkan dalam beberapa scene di film ini. Scene-scene pertama adalah pengalaman Pi kecil dalam memahami beragam agama, yaitu Hindu, Kristen, dan Islam. Ketika mendalami Hindu, diceritakan bahwa Pi kecil sangat tertarik dengan cerita kanak-kanak Kresna yang memperlihatkan seluruh isi semesta di dalam mulutnya. Seperti yang kita tahu, Kresna dalam Hindu sebenarnya adalah perwujudan dan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam mulut Kresna yang terbatas ruang, ternyata mampu untuk menampung alam semesta yang tiada batasnya. Lalu ketika Pi kecil tertarik dengan agama Kristen. Pastor di gereja menjelaskan kepada Pi mengapa Yesus harus hadir di dunia. Pastor mengatakan bahwa Tuhan yang Maha Tidak Terbatas menjelma menjadi manusia yang maha terbatas agar manusia dapat memahami-Nya. Yesus sendiri hadir hanya dalam “setitik kecil” fragmen sejarah umat manusia, yang sangat tidak berarti jika dibandingkan dengan umur semesta yang bermiliar tahun. Pi juga tertarik untuk mendalami agama Islam. Dan walaupun tidak diperlihatkan dalam film, namun kisah perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad yang hanya dalam waktu satu malam mampu melakukan perjalanan maha jauh ke Langit Ke Tujuh bagi saya adalah salah satu bentuk ketidakberhinggaan Tuhan yang mampu mengatasi segala keterbatasan. “Ketidakberhinggaan makna” juga mungkin dirasakan Pi ketika dia menatap mata seekor Richard Parker. Ketika ayah Pi yang rasional mengatakan bahwa tatapan mata hewan hanya memantulkan emosi manusia yang menatapnya, Pi bersikeras bahwa tatapan mata seekor Richard Parker seperti berbicara kepadanya, dan Pi pun yakin bahwa itu membuktikan hewan juga punya roh seperti manusia. Bagi orang awam, seperti yang diwakili oleh sosok sang penulis, hidup Pi terlihat relatif normal-normal saja. Di adegan terakhir bahkan Pi dewasa diperlihatkan telah memiliki istri dan anak. Namun di sepanjang garis hikayat waktunya, ada “setitik” ruang dan waktu dalam hidup seorang Pi (dan mungkin juga dalam hidup kita semua) ketika dia merasakan sebuah “MAKNA AGUNG” yang mungkin amat mustahil untuk diterima oleh nalar, dan terlampau spektakuler untuk menjadi kenyataan. “MAKNA AGUNG” itu mungkin dapat kita sadari dan pahami dalam hal-hal rutin dalam kehidupan kita sendiri. Dari tatapan dan sentuhan kekasih, nikmatnya gorengan dan teh manis di sore hari, sejuknya Air Conditioner di ruang kantor, hingga selembar tiket yang membawa penulis dapat menonton film ini. Akhir kata, “mampukah” anda mempercayai seorang Pi? “Mampukah” kita untuk mempercayai-Nya? Salam. Catatan : 1. Bagi saya, ini salah satu film terbaik tahun 2012 ini, bahkan mungkin yang terbaik. Alangkah “terkutuknya” Oscar Academy jika tidak melirik film ini. 2. Sampai sekarang belum ada kepastian tentang berapa nilai yang sebenarnya dari Pi 3. Tontonlah film ini dalam format 3 Dimensi. Percayalah anda tidak akan menyesal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline