Berawal dari mengubah pandangan diri tentang bagaimana tujuan Pendidikan di Kelas, maka perlu hendaknya untuk meningkatkan komitmen diri dalam meningkatkan mutu pendidikan sedini mungkin. Pertanyaan yang harus segera kita jawab adalah "Kapan untuk kita memulai perubahan itu pada diri kita?". Filosofi Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi titik awal bagi agen perubahan dalam tranformasi pendidikan di Sekolah. Konsep pemikiran ini menuntun kita menuju manusia Indonesia (Pembelajar) merdeka pada abad ke 21.
Jika kita mengingat-ingat kembali dimasa-masa persekolahan tentu kita akan membayangkan hal-hal yang membuat kita bersemangat untuk bersekolah atau sebaliknya. Bahkan terdapat momen-momen dimana kita merasa ada hal yang membuat kita berkembang dalam belajar. Hal ini pasti tidak terlepas dari sosok guru yang menginspirasi. Yang menjadi pertanyaan seorang pendidik adalah bagaimana untuk kita menjadi sosok guru tersebut? . Melalui pembelajaran berdiferensiasi inilah kita bisa menjadi posisi guru yang menginspirasi dan membuat perubahan besar pada murid.
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa "Pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Dengan maksud agar segala unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya. Dan dapat kita teruskan pada anak cucu kita yang akan datang".
Kita perlu sadar bahwa dunia sekarang semakin tanpa batas, teknologi membuat kita seperti tanpa jarak. Pertukaran budaya baik positif maupun negatif sulit untuk diawasi dan difilterisasi. Posisi guru dan orangtua sangat strategis dalam menumbuhkan filter pada anak sejak dini. Hal ini dimungkinkan agar budaya kita tidak tergerus oleh budaya lain yang lebih agresif dalam melakukan penetrasi. Dari itu, kita sebagai pendidik dipaksa untuk berpikir dan kembali berbuat sesuai makna dan tujuan pendidikan kita.
Jika kita melihat pada Trapesium Usia terdapat memori yang bermakna pada masa kecil kita. Emosi yang terbentuk pada diri seorang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang dapat berdampak pada penumbuhan nilai diri seseorang.
Suka atau tidak suka, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, guru dipandang sebagai teladan ditengah lingkungan masyarakat. Guru memiliki kesempatan yang besar menjadi sumber inspirasi bagi muridnya. Melalui pembelajaran berdiferensiasi kita bisa menggali potensi-potensi yang ada pada diri murid.
Pembelajaran Berdiferensiasi memungkinkan guru dalam memberikan pembelajaran pada setiap individu murid secara maksimal. Pembelajaran Berdiferensiasi merupakan serangkaian keputusan guru yang rasional atau masuk akal (common sense) yang tentu sesuai dengan kebutuhan murid. Guru tidak perlu membebani dirinya dengan menyediakan berbagai cara pembelajaran sejumlah muridnya. Misalnya jika seorang guru mempunyai siswa 28 orang, bukan berarti guru harus mempunyai 28 cara juga dalam mengajar muridnya. Bukan pula menyiapkan soal yang banyak untuk anak yang cepat dan sedikit untuk siswa yang lambat. Seorang guru bukanlah seorang super hero yang digambarkan dalam Film Marvel yang mampu berlari kesana kemari dengan super cepat untuk melayani semua muridnya.
Lalu bagimana kita menerapkan pembelajaran berdiferensiasi?
Guru bisa merespon kebutuhan belajar murid melalui keputusan-keputusan yang meliputi:
- Bagaimana guru menciptakan suasana atau lingkungan belajar yang mengundang murid untuk belajar lebih keras sesuai dengan tujuan belajarnya.
- Kurikulum yang memiliki tujuan yang didefinisikan secara jelas,
- Penilaian yang berkelanjutan yang berfungsi sebagai kontrol dari pengawasan guru melalui penilaian formatif
- Kepekaan guru dalam merespon dan menganggapi kebutuhan belajar murid
- Serta menajemen kelas yang Efektif.
Carol Ann Tomlinson (2001) dalam bukunya "How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom" mengkatagorikan kebutuhan belajar murid dalam 3 aspek yaitu :