Lihat ke Halaman Asli

Meningkatkan Akses Petani terhadap Kredit

Diperbarui: 17 Juni 2019   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Perbankan selama ini menjadi salah satu tumpuan masyarakat untuk memperoleh kredit pada saat menjalankan suatu usaha. Data BPS menunjukkan bahwa jumlah kredit modal kerja yang dikeluarkan perbankan pada tahun 2012-2017 terus meningkat. Hal ini merupakan sebuah gambaran ketergantungan pelaku usaha nasional terhadap kredit perbankan semakin tinggi.

Namun sayangnya, kondisi ini tidak terjadi di semua sektor ekonomi nasional. Data BPS mengenai struktur ongkos usahatani menunjukkan bahwa para pelaku usaha pertanian, terutama petani gurem subsektor tanaman pangan lebih dominan menggunakan dana mandiri dan kalau pun meminjam dana maka lebih senang mendapat pinjaman dari lembaga keuangan non formal seperti tengkulak daripada ke bank. AT Mosher (1966) menyatakan bahwa kredit produksi merupakan syarat pelancar untuk mempercepat pembangunan pertanian. Indonesia pernah membuktikan bahwa capaian swasembada pangan pada tahun 1984 selain karena program panca usaha tani, tetapi juga karena dukungan kredit pertanian. Bahkan, salah satu bank milik pemerintah memiliki jangkauan sampai pelosok pedesaan untuk menyalurkan kredit kepada petani.

Secara teoritis, petani gurem selama ini memiliki keterbatasan modal dalam membeli sarana produksi pertanian. Keterbatasan ini akan berimplikasi pada rendahnya kuantitas produksi pertanian. Apabila produksi usahataninya rendah, maka pendapatan petani akan rendah pula sehingga lama-kelamaan akan menyebabkan petani tidak sejahtera. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibutuhkan intervensi pihak luar untuk memberikan kredit yang mampu membantu petani untuk meningkatkan akses terhadap sumber daya pertanian.

Data BPS menunjukkan pada tahun 2012-2017 jumlah pinjaman modal kerja dari perbankan kepada pertanian semakin meningkat. Namun fakta di lapangan tetap saja menunjukkan petani gurem lebih memilih meminjam dana ke tengkulak walaupun bunga yang diterapkan tengkulak lebih tinggi daripada bunga bank. Menurut hasil survei BPS pula, beberapa alasan petani lebih senang meminjam kepada lembaga keuangan non formal karena proses yang mudah, tanpa agunan (jaminan), dan kecepatan pencairan dana. 

Bahkan pendapat tersebut diperkuat oleh Chao-Berrof (2014) yang menyatakan perbankan sering menganggap pertanian bukan prioritas utama untuk penyaluran kredit karena sering mengalami timgkat pengembalian kredit yang buruk serta membutuhkan biaya penyaluran yang besar daripada sektor lain karena jumlah peminjam sangat banyak namun jumlah dana yang dipinjam kecil.

Perbankan sebagai sebuah lembaga keuangan resmi tentunya membutuhkan kehati-hatian dalam menyalurkan kredit sehingga menjadi sebuah kewajaran apabila memiliki prosedur yang rinci dan membutuhkan suatu kepastian bahwa debitur mampu mengembalikan pinjaman. Apalagi risiko usahatani juga cukup tinggi sehingga akan mengganggu petani dalam pengembalian pinjaman.  

Prosedur waktu cicilan kredit juga sering menjadi kendala karena bank menuntut waktu cicilan kredit tiap bulan. Sedangkan petani tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut karena pendapatan usahatani akan diperoleh saat periode panen dan momen tersebut tidak mungkin terjadi tiap bulan.

Namun begitu, Indonesia perlu belajar dari beberapa negara seperti Rusia dan Cina yang berani menyalurkan kredit pertanian dalam jumlah besar bahkan kedua negara telah membentuk bank pertanian tersendiri. 

Pada tahun 2018, Russian Agricultural Bank mengalami peningkatan pendapatan bunga bersih 6,5% per tahun. Sedangkan menurut Forbes, Agricultural Bank of China merupakan bank nomor 5 terbaik di dunia pada tahun 2018. Wacana pembentukan bank pertanian sebenarnya telah menjadi bahan diskusi oleh para pakar pertanian. 

Sayangnya regulasi Bank Indonesia yang ada saat ini belum memungkinkan terbentuknya bank pertanian. Namun dengan melihat keberhasilan bank pertanian di beberapa negara, maka sewajarnya Bank Indonesia dapat mengadopsi regulasi dari negara lain untuk membentuk bank pertanian.

Perbankan nasional juga perlu melakukan perubahan mindset dengan mengambil hikmah dari keberhasilan Grameen Bank (Bangladesh) dalam menyalurkan kredit produktif. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline