Lihat ke Halaman Asli

Agus Dedi Putrawan

Agus Dedi Putrawan

Tuan Guru Sebagai Alat Kampanye “Refleksi dari Buruknya Politik Kampanye di Indonesia”

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Agus Dedi Putrawan



Nusa Tenggara Barat (NTB) di kenal dengan dua pulau kecilnya yaitu pulau Sumbawa dan pulau Lombok. Di pulau Sumbawa terkenal kekayaan dengan alamnya berupa tambang emasnya yang dikelola oleh Newmoont sedangkan di pulau Lombok sendiri terkenal dengan sebuatan pulau seribu masjid, pulau lombok sendiri sekitar 80% penduduk pulau ini adalah suku Sasak, sebuah suku bangsa yang masih dekat dengan suku bangsa Bali. Selain itu telah banyak berdiri pondok pesantren, hal tersebut antara lain dikarenakan selain mayoritas penduduk provinsi itu beragama Islam juga terdapat para ulama/kyai yang biasa di sebut “Tuan Guru” yang berperan aktif dalam dakwah Islamiyah khususnya di pulau Lombok.

Tuan guru di Lombok telah menjadi orang yang paling berpengaruh dan telah menujukkan eksistensinya dalam masyarakat sejak abad ke 19. Tuan Guru adalah sebutan bagi seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi yang diberikan label Tuan Guru oleh masyarakat sebagai wujud dari pengakuan mereka terhadap kelebihan-kelebihan yang dimiliki seseorang. Pada umumnya mereka diberikan gelar Tuan Guru karena pernah belajar di timur tengah (belajar pada ulama-ulama terkenal) atau minimal pernah berhaji, memiliki jama’ah pengajian (pengajar Majlis Ta’lim di beberapa tempat), atau pondok pesantren dan memiliki latar belakang hubungan dengan orang yang berpengaruh, atau boleh jadi karena orang tuanya adalah tuan guru.

Kharisma dan status sosial Tuan Guru semakin meningkat seiring dengan bertambahluasnya wilayah dakwah dan semakin banyaknya pengikut Tuan Guru. Dalam kurun waktu dari abad ke-18 sampai dengan sekarang, telah terjadi perubahan struktur sosial dalam masyarakat sasak. Sebelumnya terdapat empat golongan struktur sosial, secara berurutan adalah 1). golongan raja dan keluarga raja, termasuk di dalamnya keturunan-keturunannya. 2). Golongan nigrat atau raden. 3). Golongan pruangse, orang kebanyakan. 4). Golongan  jajar karang (budak). Saat ini struktur sosial pada masyarakat sasak meliputi 1). Tuan guru, tokoh agama (ulama). 2). Tuan haji, mereka orang kebanyakan yang terdiri dari mereka yang mampu secara finansial (orang kaya, pemilik modal, para bangsawan, pegawai negeri atau yang sederajat dengannya). 3). Non haji, mereka yang secara finansial berada di bawah

Kata Tuan Guru dalam bahasa sasak memiliki dua makna  yakni; Tuan yang artinya orang yang sudah pernah menunaikan ibadah haji, kemudian Guru adalah seorang pengajar atau di wilayah pesantren dikenal dengan istilah Ustadz. Tidak semua orang yang sudah pernah menunaikan ibadah haji kemudian dia seorang pengajar/ustadz di sebut Tuan Guru namun ada kriteria khusus yang melekat dari dirinya ada pengakuan dari masyarakat. Tuan Guru, adalah orang yang oleh masyarakat dianggap sebagai orang yang alim. Sementara Nurcholis Madjid, memberi pengertian kiai dalam pandangan masyarakat secara umum dianggap sebagai orang yang mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu keagamaan bila dibandingkan dengan orang lain pada umumnya.

Namun dalam perkembangannya, nama Tuan Guru kini dianggap meredup oleh sebagian masyarakat di pulau Lombok bahwa kharismatiknya terkotori karena terjun ke dunia perburuan kekuasaan yakni politik.

Kata politik, dijelaskan Abdul Mu’in Salim dalam buku Fiqih Siyāsah, berasal dari bahasa  latin politicus, dan bahasa Yunani (greek), politicus yang berarti relating to a citizen. Kedua kata ini, berasal dari kata polis yang bermakna city. Politik kemudian diserap dalam  bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu;

(1) segala yang berkaitan dengan tindakan, kebijaksanaan, siyāsah, dsb, (2) mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, (3) dipergunakan sebagai nama bagi semua disiplin ilmu pengetahuan, yaitu ilmu politik

Hal di atas dimanfaatkan sebagai lahan subur perpolitikan untuk meraup suara suatu partai politik baik pemilihan Gubernur maupun pemilihan Bupati dengan embel-embel memberikan sumbangan kepada pondok pesantren dan tak jarang bahkan juga Tuan Guru ikut dalam politik praktis. Yang menjadi pertimbangan adalah dengan menduduki suatu kepemimpinan maka Syi’ar agama/dakwah akan semakin mudah dan di permudah, baik dakwah bil lisan maupun dakwah bil hal (dakwah dengan kata-kata, dakwah dengan tindakan dan materi).  Namun dalam realitanya di masyarakat hal itu tampak terbalik dan dalam kompetisi perebutan kekuasaan Tuan Guru A misalnya mengusung bendera putih sedangkan Tuan Guru B mengusung bendera merah begitu pula halnya dengan Tuan Guru-Tuan Guru yang lain mendukung bendera masing-masing.

Tuan Guru dalam kancah politik, setelah terjadinya reformasi politik atau pada masa pasca Orde Baru. Karena pada masa Orde Baru Tuan Guru hanya dijadikan sebagai juru kampaye atau sebagai lumbung suara pada hajatan lima tahunan. Pada tingkatan legislatif maupun eksekutif pun Tuan Guru tidak memiliki peran apa-apa. Post-post tersebut diisi oleh para kaum Menak. Tanpa memperoleh jabatan apapun Tuan Guru hanya sebagai legitimasi pada tataran keagamaan. Munculnya reformasi politik pada pasca Orde Baru, memberikan ruang kepada Tuan Guru untuk terjun di dunia politik. Pada pasca Orde Baru (masa Reformasi) ini kemudian memberikan dinamika baru dalam politik masyarakat Sasak dan juga bangkitnya politik Islam, yang diwakili oleh para Tuan Guru. Pencalonan Tuan Guru “Bajang” pada Pilkada 2008 di Nusa Tenggara Barat memberikan bukti bahwa tokoh agama tidak hanya sebagai pemimpin keagamaan, melainkan juga dapat memimpin pemerintahan. Dalam pencalonan Tuan Guru “Bajang” ini juga memberikan warna pada dinamika politik pada masyarakat Sasak yang sebelumnya selalu dikuasai oleh golongan Menak. Kemenangan Tuan Guru Bajang ini bukan hanya dikarenakan faktor ketokohan yang dimilikinya, melainkan juga memiliki modal sosial yang cukup, memiliki masa yang jelas dan momentum yang tetap. Karena dari semua calon yang ada memiliki keterlibatan korupsi. Sehingga Tuan Guru Bajang adalah calon alternatif yang paling bersih dari calon-calon yang ada. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2010, yang dilakukan di Lombok Timur. Yaitu tentang pergeseran peran Tuan Guru yang dulunya sebagai pendakwah kemudian bergeser pada pasca Orde Baru menjadi politisi.

Meminjam jargon Cak Nur “Islam Yes, Partai Islam No” membuktikan bahwa kehormatan Tuan Guru bisa saja di injak-injak oleh umat dikarenakan partai/calon yang mereka usung tidak sesuai dengan arah yang diingin kan rakyat/umat.  Hal di atas akan menjadi tolak ukur bagaimana dan ke mana dakwah keislaman akan dibawa. Pondok pesantren sering kali menjadi rebutan partai politik dan para kandidat, keterlibatan Tuan Guru dan kiprahnya dalam bidang politik memang cukup fenomenal untuk di angkat ke permukaan serta eksistensi pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang “kadang – kadang” dimanfaatkan oleh pengasuhnya (Tuan Guru) untuk mendukung kepentingan politik tertentu. Dalam konteks politik, Tuan Guru dapat mendatangkan suara dalam jumlah besar, tokoh kharismatik akan selalu menjadi incaran team sukses atau partai politik, Tuan Guru diharapkan akan mengkristalisasikan pengaruhnya pada persepsi politik masyarakat. Maka berbagai pola pendekatan yang dilakukan aktor politik (termasuk tim sukses) untuk memperoleh dukungan dari Tuan Guru yang merupakan manifestasi dari keinginan mereka untuk mengambil pengaruh untuk memenangkan calon yang di jagokan.

Dikhawatirkan dalam perjalanannya akan terjadi apa yang disebut “abused of power” yaitu penyelewengan kekuasaan dan bisa dibayangkan apabila seorang tokoh agama sebagai publik figur melakukan kesalahan yang otomatis akan membuat efek yang besar bagi citra agama yang ia emban. Maka tidak salah apa yang di risaukan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) dengan jargonnya yang kontroversial yaitu “Islam yes, partai Islam no” terbukti apa yang di alami partai PKS adalah buah kekhawatiran Cak Nur sendiri meskipun pada masanya menuai misundertanding di kalangan para ulama.

http://akumassa.org/program/tuan-guru-dalam-masyarakat-sasak/

M. Cholil Bisri, Ketika Nurani Bicara, (Remaja Rosda karya: 2000)., hlm 85

Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta:Paramadina, 2002)., hlm. 96.

Abdul Mu’in Salim, Fiqih Siyāsah: konsepsi kekuasaan politik dalam al-qur’an. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1994)., cet ke-I. hlm. 34.

Sebutan untuk tingkatan Kasta bangsawan dalam suku sasak

http://pks-lotim.blogspot.com/2013/04/dilema-politik-tuan-guru.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline