Lihat ke Halaman Asli

Apa yang Kita Cari dalam Pilpres Ini

Diperbarui: 15 April 2019   12:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Agus Daryanto, ASN Pemkot Surakarta

Hari - hari jelang pencoblosan, aroma pilpres ini layaknya chloroform, daya biusnya sangat kuat dan dalam. Semua berebut menghirupnya, baik antar pasangan calon, regu kampanye pemenangan, simpatisan, hingga masyarakat umum. Lintas dunia maya dan realita, kita saksikan adu pendapat yang tidak jarang menjurus pertikaian dan kekerasan.

Situasi pertarungan satu lawan satu semakin memperuncing friksi kedua kubu. Sebagai gambaran, jika dari 192 juta pemilih dalam DPT itu terbagi rata untuk kedua kubu, taruhlah seluruhnya memiliki pilihan, artinya akan terjadi 96 juta vs 96 juta jiwa. Kuantitas yang menunjukkan sebuah potensi konflik yang menghawatirkan.

Kedua pasangan calon pasti ingin menang, setiap regu kampanye pemenangan tentu saja ingin berjuang. Simpatisan dan semua orang berhak mengunggulkan dengan analisa masing-masing hingga ia menentukan pilihan.

Sayangnya, sering kita merasa ikut andil berjuang tetapi dengan membuat permusuhan. Tak jarang kita memuji jagoan dengan membangun narasi yang mendiskreditkan kubu seberang. 

Dibedak-bedaki terus jagoannya, dicari- cari saja borok lawannya. Yang lebih parah, fitnah, hoax, dan ujaran kebencian bertebaran dalam kanal daring dan media sosial. 

Hingga akhirnya, tanpa sadar, kita tak sanggup lagi membedakan mana bentuk perjuangan dan mana ajakan peperangan. Kita senang melukai lawan, tapi lawannya bangsa sendiri. Kita bangga membunuh rival, tapi rivalnya saudara sendiri.

Konsekuensi Demokrasi

Sistem demokrasi di Indonesia yang  kita pilih sebagai jalan pengambilan keputusan, dalam prakteknya memberikan hak setara pada setiap warga negara untuk bersuara. Hingga akhirnya kita sampai pada pelaksanaan pemilu sebagai bentuk penjabaran demokrasi yang kita sepakati untuk memilih pemimpin terbaik.

Demokrasi kita berkiblat ke barat. Demokrasi yang memupuk budaya debat. Sebuah mekanisme yang idealnya merupakan adu ide, gagasan, dan argumentasi yang sehat, tetapi di sini telah berevolusi menjadi adu kekuatan dan unjuk kesombongan. 

Merasa paling benar,  kubu lain biang onar. Merasa paling tepat, pihak yang lain sesat. Strategi dan narasi yang dibangun untuk mengopinikan diri, semakin mengokohkan bahwa satu bukan bagian dari yang lainnya. Ia sekaligus menyerang, menikam, dan menghancurkan pihak lain yang tidak sehaluan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline