Judul di atas bukan, dan sama sekali tidak, untuk niatan provokatif. Anggap saja ia sebuah "lawakisasi" dan pengandaian yang hiperbolis --atau mungkin jawaban-- bagaimana, bahkan ketika berbuat baik sekalipun, Puan Maharani tetap mendapatkan penilaian yang buruk oleh "kamu": orang-orang yang sedari awal apatis terhadapnya; berbeda pandangan politik dengannya; atau yang kritis tapi kurang banyak mengkonsumsi berita sehingga kekurangan asupan "gizi"; dan mungkin orang-orang yang sedari awal memang sudah berniat untuk nyinyir dan makisaja.
Andai saja Puan Maharani sedang melaksanakan shalat pun, para "kamu" yang berpegang teguh pada prinsip nyinyirisme itu akan berpikir, jangan-jangan shalat Puan Maharani tanpa wudhu', dari saking buruknya penilaian terhadap Puan Maharani. Artinya, bahkan ketika Puan Maharani, beberapa waktu yang lalu melaporkan capaian kerja dan kinerjanya dalam konteks pembangunan manusia dan kebudayaan, berdasarkan data dan fakta yang objektif, "kamu" masih mempertanyakan dan ngomel sekenanya. Bermain-main dengan analisa dan bahasa yang ciamik tapi miskin data dan fakta.
Jadi, lanjutkan membacanya, jangan keburu menyimpulkan.
Menurut Puan Maharani, kesejahteraan masyarakat meningkat. Data dan berita selengkapnya, silahkan baca disini: satuduatigaempat
Lalu, "kamu" masih mempertanyakan, kalau perlu sambil memotret kondisi-kondisi pasar yang lesu dan hening, seorang anak yang tidak bisa sekolah, gedung sekolah yang acakadut, orang tua yang sedang sakit parah dan terbaring tak bisa berobat, atau mungkin foto sebuah rumah super miskin di pelosok sana, lalu diupload dan diberi caption, "Bu Puan, melihat gambar-gambar itu, kesejahteraan mana yang meningkat? Ini faktanya, bukan angkanya!"
Oke, baiklah. Tapi tak bisa menilai kerja dan kinerja pemerintah jika yang menjadi tolak ukurnya adalah kasuistik; kasus perkasus. Memang tidak salah, tapi jelas itu tidak nyambung. Kalau yang "kamu" ungkap di media sosial dengan menyertakan foto lalu bertanya dimanakah kesejahteraan? Maka, coba tanyakan dulu kepada kepala desa atau lurahnya; beberapa kartu yang dibagikan pemerintah sudah tepat sasaran apa belum? Kalau tidak, tanyakan kepada Bupati atau Walikotanya, kebijakan mereka sudah sinkron atau belum?
Jika tidak bisa, tanyakan juga pada Gubernurnya, lalu Menterinya, dan kemudian pada Presidennya. Kebijakan yang berkaitan dengan lokal, perlu dipertanyakan sejak dari "lokal", jangan langsung marah-marah pada mereka yang "nasional". Memang tidak salah menanyakan bangunan sekolah yang ambruk atau kesehatan yang mahal kepada Menteri dan Presiden dalam bingkai "mana kesejahteraan?", tapi persoalan itu dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, baru nasional. Mulai dari kelurahan, Dinas, Pemkab, Pemda, lalu Kementerian.
Pada titik inilah kebiasaan untuk memberikan penilaian dan berteriak secara serampangan kerap kali dijumpai. Semua kesalahanan ditumpukan pada Menteri, atau pemerintahan Jokowi-JK. Lurah, Camat, Bupati, Walikota, Gubernur, Kadis, Pemkab, dan Pemda seakan tidak ada kerjanya sebab semua kesalahan dan caci maki langsung ditimpakan pada Menteri dan Jokowi-JK. Mereka semua, seakan pegawai yang digaji untuk nganggur, sebab tak pernah ditanya, apalagi disalahkan!
Mulai dari jalan rusak dan berlubang, hingga burung lovebird yang gagal bertelur; mulai dari harga cabai hingga itik yang tidak mengerami lalu ditake over oleh ayam; mulai dari jembatan kampung yang rusak hingga burung merpati yang pisah ranjang; mulai dari subsidi yang tidak tepat sasaran hingga matahari yang terbit kesiangan, semuanya salah menteri, semuanya salah Puan Maharani, semuanya salah Jokowi-JK.
Mungkin tidak salah, tapi cukup aneh dan absurd, bukan?
Artinya, data dan fakta yang disampaikan oleh Puan Maharani adalah data yang diperoleh melalui survei dan penelitian, yang secara simultan dikaitkan dengan beberapa program yang laksanakan oleh Kementerian Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama dengan Kementerian atau Lembaga lain yang berada di bawah garis koordinasi Puan Maharani. Bisa dipertanggung-jawabkan. Kalau ada tetangga sangat miskin di sebelah rumah "kamu" yang tidak mendapatkan KIP, KIS, KKS, PKH, atau yang lainnya, jangan langsung Puan Maharani yang dicaci, tanyakan dulu pada pamung atau lurahnya. Begitu, kan, runutan cara menilainya?