Lihat ke Halaman Asli

Rhoma Cap Jokowi Munafik? Bagaimana Nasib Koalisi?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam berita siang TV One edisi Rabu 16 April 2014, salah satu bakal cawapres PKB Rhoma Irama diwawancarai seputar wacana koalisi PKB dengan PDIP. Ditanya kemungkinan diduetkan dengan Jokowi, bang haji memberikan tanggapan yang sungguh mengejutkan dan di luar dugaan. Sang raja dangdut menyatakan bersedia menjadi pasangan capres yang diusung PDIP jika calonnya Megawati atau Puan Maharani. Tapi kalau capresnya Jokowi, dengan tegas dia bilang tidak mau.

Mengapa dia menolak? Rhoma menyebut Jokowi tidak bisa dipegang kata-katanya alias pembohong. Menurut Rhoma, mantan Walikota Solo yang meninggalkan amanah warga Solo demi jabatan gubernur Jakarta itu pernah berkata di media massa bahwa dia akan menunaikan amanah yang dititipkan warga Jakarta sampai tuntas 5 tahun masa jabatannya. “Saya tidak mau mendampingi atau mendukung orang seperti itu,” ujar Rhoma. Lalu bang haji menyitir sabda Rasulullah SAW tentang 3 ciri orang munafik: jika berkata dia bohong, jika berjanji dia ingkar, dan jika diberi amanah dia berkhianat.

Hmm….apa sebenarnya yang tengah terjadi di internal PKB? Mengapa Satria Bergitar itu tiba-tiba menunjukkan sikap dan posisi yang amat terang benderang tanpa berusaha sedikit pun untuk diplomatis? Sejauh ini saya belum tahu bagaimana respons PDIP maupun PKB terhadap pernyataan kontroversial, berani, dan apa adanya itu. Yang jelas, dengan adanya statemen itu, hampir mustahil terwujud pasangan duet Jokowi-Rhoma. Kans Rhoma praktis tertutup rapat sejak 16 April itu. Jika PKB akhirnya jadi berkoalisi dengan PDIP dan mendapat jatah cawapres, maka calonnya kini mengerucut menjadi tinggal 3 orang: Mahfud MD, JK, dan sang ketua umum PKB sendiri, Muhaimin Iskandar.

Dari ketiga calon itu siapa yang paling besar peluangnya? Untuk memprediksi hal ini, ada banyak faktor penentunya. Salah satunya, dan yang menurut saya paling penting adalah syarat politik dari PDIP sendiri. Apakah dalam penentuan cawapres itu PDIP menyerahkan sepenuhnya kepada PKB –yang penting salah 1 dari ketiga nama itu dan bukan Rhoma- atau apakah PDIP dan Jokowi memilih sendiri siapa dari ketiga orang itu yang paling cocok.

Jika PDIP sendiri yang memilih cawapres itu, kemungkinan kriteria yang dipakai sekurang-kurangnya ada tiga. Pertama, siapa yang chemistry-nya paling klop dengan Jokowi. Kedua, siapa yang paling mampu membantu mendongkrak perolehan suara Jokowi. Terakhir, siapa yang paling berpotensi menutupi banyak kelemahan dan kekurangan Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan.

Menggunakan ketiga kriteria itu, yang ratingnya paling tinggi adalah JK. Sebagaimana dikabarkan, JK lah (bersama-sama dengan Prabowo dan Djan Farid) yang dulu meyakinkan Mega pada detik-detik terakhir agar berkenan mencalonkan Jokowi sebagai gubernur DKI. JK juga non-jawa dan mendapat banyak dukungan dari luar Jawa. Jika Jokowi-JK terpilih, maka pasangan itu akan merepresentasikan potret kebhinekaan Indonesia.

Di atas segalanya, JK berpengalaman sebagai Menkokesra dan juga wakil presiden. Dalam sejarah politik Indonesia, JK tercatat sebagai wakil presiden yang paling berfungsi, paling aktif dan paling produktif. Dia banyak berkontribusi tidak saja dalam bidang ekonomi dan dunia usaha –yang memang menjadi keahlian utamanya- tapi juga dalam isu-isu keamanan nasional, resolusi konflik sosial, program kemanusiaan, dan lain-lain. Dari perspektif ini, JK yang terkenal lincah, gesit, tegas dan blak-blakan itu merupakan mentor ideal buat Jokowi yang masih hijau dalam percaturan politik nasional dan internasional.

Ironisnya, kelebihan JK ini sekaligus juga menjadi kelemahannya. Ini setidaknya dalam pandangan faksi tertentu di PDIP yang tidak menginginkan terbentuknya kepemimpinan dwitunggal, kepemimpian yang wapresnya berperan maksimal dan menonjol. Dalam berita maupun dialog di televisi nasional ada beberapa tokoh PDIP yang secara terbuka menyuarakan hal ini. Mereka tidak menginginkan ada matahari kembar, tidak sudi sang matahari kalah bersinar dibandingkan sang rembulan. Padahal, dengan melihat minimnya pengalaman Jokowi dalam kepemimpinan nasional dan internasional, suka tidak suka, mau tidak mau, bimbingan dari wapres berpengalaman itu sangat diperlukan demi nasib rakyat dan bangsa Indonesia. Selain itu, latar belakang dan pengetahuan JK dalam bidang ekonomi dan dunia usaha dapat menimbulkan antipati dari sekelompok pengusaha (termasuk dugaan adanya pengusaha hitam) yang selama ini telah mem-backing dan mensponsori pencitraan Jokowi lewat berbagai media mainstream, termasuk pembuatan film kepahlawanan Jokowi yang diputar di bioskop seluruh Indonesia dan oleh salah satu TV nasional.

Yang mendapat rating nomor dua untuk berpasangan dengan Jokowi adalah Mahfud MD. Sejauh yang nampak di publik, Mahfud tidak diketahui menjalin hubungan pertemanan dengan Jokowi, meskipun tidak juga berseberangan seperti halnya Rhoma Irama. Mahfud orang Madura dan di atas kertas tentu dapat menarik mayoritas suara pemilih Madura. Tapi Mahfud juga didukung oleh akar rumput PKB non-Madura dan mendapat simpati kelompok Islam menengah ke atas.

Seperti halnya JK, Mahfud juga berpengalaman dalam pemerintahan di level nasional, cuma di bidang yang berbeda. Dia sempat menjadi Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pertahanan, dan Ketua Mahkamah Konstitusi. Dia juga dikenal bersih, lurus, tegas, blak-blakan dan tak jarang juga bicara keras. Kekuatan utama Mahfud terletak pada pengetahuan dan pengalamannya di bidang hukum. Jika pasangan Jokowi-Mahfud terpilih, dipastikan Mahfud dapat memberikan kontribusi signifikan dalam penciptaan sistem hukum dan sekaligus penegakannya. Upaya pemberantasan korupsi, saya prediksikan akan semakin trengginas dengan Mahfud menjadi wapres. Boleh jadi dia juga akan diberikan tanggung jawab khusus untuk mengawasi bidang ini.

Kelemahan Mahfud? Persis seperti kasus JK, karakter dan kekuatan Mahfud dapat juga dipersepsikan sebagai kelemahannya. Selain sama-sama berpengalaman dalam pemerintahan nasional, Mahfud memiliki karakter yang mirip dengan JK: ekstrovert, berani, tegas, bicara blak-blakan. Hal ini diperkirakan potensial menyaingi, untuk tidak mengatakan dapat meredupkan kepemimpinan Jokowi. Wapres yang menonjol seperti ini tidak diinginkan oleh faksi tertentu dalam PDIP. Oknum-oknum di PDIP yang memendam syahwat korupsi pasti juga menentang penunjukan Mahfud sebagai wapres, sebab mereka tidak bakal bisa leluasa membajak dan memanfaatkan momentum berkuasanya PDIP untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Nah…Muhaimin Iskandar adalah calon dari PKB yang paling rendah ratingnya jika menggunakan kriteria di atas. Tapi jangan salah. Boleh jadiduet yang terbentuk nanti justru Jokowi-Muhaimin. Lebih-lebih bila faksi di PDIP yang tidak menginginkan sosok wapres menonjol itu semakin banyak pendukungnya. Dan lebih-lebih lagi jika PDIP juga menyerahkan sepenuhnya kepada PKB siapa yang akan dicalonkan sebagai wapres –yang penting bukan Rhoma Irama.

Jikalau PDIP menyerahkan sepenuhnya kepada PKB soal cawapres yang diajukannya, maka dengan mudah nama Muhaimin mencuat dan menenggelamkan JK dan Mahfud. Secara organisatoris, Muhaimin adalah ketua umum PKB. Dia tentu punyai akar, pendukung dan loyalis yang lebih banyak dan kuat dibandingkan Mahfud dan apalagi dengan JK yang nota bene orang Golkar. Dengan kata lain, Muhaimin akan dengan relatif mudah memobilisasi dukungan DPW dan DPC. Dengan bekal aspiriasi dan ‘amanat’ formal itulah Muhaimin menyodorkan namanya untuk berpasangan dengan Jokowi. Saat ini pun senjata ini sudah mulai dimainkan Muhaimin. Patut diduga, penolakan Rhoma terhadap Jokowi secara terbuka dan terus-terang itu sebagian dipicu oleh hal ini. Buat Jokowi dan PDIP, Muhaimin tampak tidak akan semenonjol JK maupun Mahfud. Jadi secara chemistry mungkin lebih cocok. Masalahnya, Muhaimin itu tergolong politisi yang cerdik, bahkan seorang pengamat secara sarkastik menyebutnya licik. Almarhum Gus Dur saja berani dia lawan dan 'kerjain', apalagi seorang Jokowi. Ini semacam buah simalakama buat PDIP dan Jokowi: jika dimakan, ibu mati tetapi jika tidak dimakan bapak mati.

Lalu siapa yang akhirnya bakal mendampingi Jokowi? Melihat kompleksitas proses pengambilan keputusan dalam penentuan capres yang cocok itu, tentu menjadi menarik untuk dinanti-nantikan. Yang pasti, sosok cawapres yang akan dipilih oleh PDIP nanti akan mencerminkan sintesis dari tarik ulur banyak kepentingan dan agenda di balik pencapresan Jokowi itu: apakah murni untuk kepentingan rakyat atau justru diboncengi kepentingan kelompok tertentu yang merugikan rakyat.

Namun yang lebih menarik buat saya saat ini adalah bagaimana tanggapan Mahfud, JK, Muhaimin dan kyai-kyai NU terhadap pendapat Rhoma Irama mengenai Jokowi itu. Apakah mereka setuju dan menganut nilai-nilai dan konsep moralitas pemimpin yang sama dengan Rhoma itu? Atau, apakah mereka justeru memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan Rhoma? Jika demikian halnya, patut kita tunggu versi mereka dalam menafsirkan hadist yang dikutip Rhoma Irama itu. Ini sungguh penting sebab menyangkut integritas moral pemimpin yang akan menjadi imam rakyat dan bangsa Indonesia. Wallahualam……

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline