[caption caption=" Editor : Armada Riyanto, dkk. Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Agustus 2015 Jumlah hlm : 652"][/caption]
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pernah mengeluarkan survey pada tahun 2012 menemukan data di mana 86 persen mahasiswa di lima perguruan tinggi terkemuka di pulau Jawa menolak pancasila sebagai dasar negara. Data ini tentu saja menjadi isyarat akan adanya ancaman bagi masa depan Pancasila yang bila tidak galakan ruang diskursusnya bukan tidak mungkin lambat laun akan punah dari bumi Indonesia.
Armada Riyanto, dkk yang tergabung dalam Asosiasi Filosof-Filosof Katolik (AFKI), adalah salah satu bagian dari orang di negeri ini yang cinta akan kebereadaan Pancasila sebagai dasar negara. Hal tersebut dibuktikan dengan lahirnya buku yang sangat luar biasa dengan judul “Kearifan Lokal-Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan” setebal 652 halaman. Buku ini seakan memperkaya buku-buku yang mengkaji pemikiran Pancasila sebelumnya yang sudah dituangkan dalam bentuk buku oleh Yudi Latif; Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), serta buku, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (Jakarta: Mizan, 2014).
Dalam Penjelasannya, Armada Riyanto mengatakan buku Negara Paripurna yang ditulis oleh Yudi Latif menggunakan pendekatan hermeneutika yang kompleks dengan menggambarkan fase historik lahirnya Pancasila (fase pembuahan, fase perumusan, fase pengesahan) sedangkan buku Mata Air Keteladanan menguraikan perjalanan dari para tokoh-tokoh bangsa yang kiprah dan perjuangannya mencerminkan keluruhan nilai-nilai Pancasila. (bdk hlm 26)
Sementara Armada Riyanto dkk, dari AFKI mencoba menawarkan perspektif lain atas studi Pancasila. Mereka menggunakan pendekatan kearifan lokal sebagai locus kajian guna memahami nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. kearifan local (local wisdom) merupakan produk berabad-abad yang melukiskan kedalaman batin manusia dan keluasaan relasionalitas dengan sesamanya serta menegaskan keluruhan relasionalitas hidupnya. (bdk hlm 28-29)
“Relasionalitas” merupakan serangkaian relasi sehari-hari manusia yang beranjut dalam cetusan-cetusan kesadaran yang mendalam. Masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, misalnya, memiliki kesadaran yang mendalam akan bagaimana kepemilikan tanah diatur sedemikian rupa sehingga muncul kearifan-kearifan yang mencegah monopoli. Semua bisa memiliki semua, agar tidak ada yang berkekurangan; dan jangan sampai satu atau beberapa mendominasi kepemilikannya. Demikianlah, “relasionalitas” menjadi suatu bentuk “rasionalitas” hidup bersama.
Kearifan lokal merupakan filsafat. Butir-butir Kebijkasaan dari yang diuraikan dalam buku ini berupa esai-esai filososfis. Uraiannya tidak doktrinal, melainkan deskriptif-interpritif. Para penulis dalam buku mencoba merayakan kedalaman local wisdom di satu pihak, tetapi di lain pihak juga diguyur oleh keprihatinan dan kegelisahan karena gejala-gejala “kedangkalan” kehidupan bangsa dan negara. “Kedangkalan” memasukan kemerosotan-kemerosotan yang terjadi di beberapa aspek kehidupan bersama yang menindikasikan penyimpangan dari nilai-nilai kearifan lokal-Pancasila (bdk hlm 31)
Atas dasar “kegelisahan” atas pudarnya nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat Indonesia, maka para penulis ini mencoba menelusuri jejak-jejak budaya lokal (local wisdom), yang sebetulnya nilai-nilai kearifan lokal tersebut menjadi nilai dasar dalam 5 sila Pancasila. Nilai-nilai kearifan lokal pancasila tersebut hidup dan terpatri serta terbentang luas dari Sabang-Merauke. Meskipun dalam buku ini, tidak semua nilai kearifan lokal tersebut disajikan, akan tetapi, dengan membaca apa yang ditulis dalam buku ini minimal menjadi gambaran akan betapa berharganya nilai-nilai lokal yang dimiliki bangsa Indonesia.
Buku ini merupakan buku pertama di Indonesia, yang secara serius melihat Pancasila dalam konteks kearifan lokal. Narasi Pancasila yang dinarasikan dari kearifan lokal, melukiskan jiwa bangsa Indonesia. Seperti diungkapkan dengan sangat baik oleh Armada Riyanto, bahwa: “Menurut bung Karno, suatu bangsa memiliki “jiwa”. Dan “jiwa” inilah yang dia gali dari dalam diri bangsa Indonesia itu sendiri. Kristalisasi “jiwa” ini ialah sila-sila dalam Pancasila. Jadi, Pancasila adalah “jiwa” bangsa atau kepribadian bangsa Indonesia. Tanpa Pancasila, Indonesia pasti menjadi bangsa yang tak punya “jiwa”.” Hlm 18. Pancasila adalah sebuah fondasi filosofis (philosophische grondslag) yang menjadi jiwa bangsa Indonesia.
Di awal tadi disajikan data tentang pudarnya nilai Pancasila dikalangan generasi muda. Hal tersebut, tentu saja membuka mata kita akan pentingnya dihidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat. nilai-nilai kearifan lokal tersebut dijadikan sebagikan pegangan, tali pengikat, sebagai filter, di tengah ancaman kebersamaan, ancaman intoleransi, korupsi serta derasnya arus modernitas yang membawa anak muda kita ke dalam pilihan pragmatis, hedon dan profan. Sebagaimana pesan Bung Karno kita harus menjadi bangsa yang berkepribadian dalam bidang kebudayaan.
Buku ini terdiri dari 35 Esai filosofis, yang menggali kearifan lokal Indonesia yang terbagi atas. Esai kedua sampai ke delapan mengurai mengenai isu-isu KeTuhanan. Esai kesembilan hingga keempat belas mengurai mengenai isu-isu kemanusiaan. Esai ke lima belas hingga dua puluh satu berbicara tentang isu-isu Persatuan. Esai kedua puluh dua hingga ke duapuluh enam berbicara tentang isu Musyawarah dan Demokrasi, dan Esai kedua puluh tujuh hingga ketiga puluh dua, berbicara mengenai isu Keadilan.