Lihat ke Halaman Asli

Menjauhi Politik Pilatus

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hiruk-pikuk dan hingar-bingar politik di negeri ini, pada hari-hari terakhir ini berkutat pada dua hal. Pertama, pertarungan kekuasaan antar elit penguasa negeri seperti kasus polemik antara Polri dan KPK, kasus perebutan puncak tertinggi di tubuh partai politik serta berbagai kasus yang bermuatan krimanilsasi lainnya.

Kedua, polemik terkait masalah penegakan hukum. Di satu sisi banyak orang bertanya mengapa tersangka kasus narkoba di hukum mati, sedangkan di lain sisi, ada wacana untuk memberikan remisi kepada para tersangka korupsi. Atau kasus di terimanya pra peradilan kasus korupsi oleh pengadilan, namun di sisi lain kita melihat bagaimana kasus nenek renta Asyani yang merengek-rengek di depan majelis hakim, meminta dibebaskan dari jeratan hukum yang disangkakan pada beliau.

Kedua hal tersebut di atas berjalan beriringan, seiring dengan harapan masyarakat pada pemerintahan Jokowi dan JK, agar membawa bangsa ini lebih baik ke depannya. Lah pertanyaannya adalah bagaimana masyarakat berharap perubahan tatkala kita masih di sandera berbagai fakta tentang kelamnya perjalanan politik bangsa ini?

Jawaban atas pertanyaan di atas, saya kontekskan dengan masa paskah yang dijalankan oleh umat Kristiani saat ini. Umat Kristiani kembali mengenang kisah perjalanan sengsara Sang Messias dihadapkan dengan hukum taurat pada zamannya. Yesus yang disalibkan merupakan simbol keputusan politik licik dari orang-orang yang tidak suka dengan ajaran yang disampaikan-Nya. Yesus adalah korban politik “kekuasaan” yang dijalankan oleh Pilatus bersama kroni-kroninya. Pilatus memutuskan menyalibkan Yesus tanpa dalil yang jelas. Bagi Pilataus, menyenangkan hati rakyat jauh lebih penting dibandingkan menegakan hukum secara adil dan bijaksanana. Yesus adalah gambaran korban kekuasaan yang haus dan tamak.

Praktek politik pencitraan atau politik menyenangkan hati rakyat, sedangkan dilakoni para elit negeri ini. Mereka memainkan lakon “pencitraan” sedemikian rupa. Tengoklah kasus Polri vs KPK. Kita menyaksikan bagaimana elit yang terlibat didalamnya melakukan politik pencitraan demi menjaga kepentingan dan kekuasaan masing-masing. Hal yang sama juga, kita saksikan dalam kasus perebutan pucuk pimpinan parpol. Semua yang dipertontonkan tidak lebih hanya sandiwara politik dalam rangka pengamanan kekuasaan masing-masing. Intinya, semua itu dilakukan demi pencitraan semata. Mereka memamerkan politik “menyenangkan” entah itu menyenangkan rakyat atau tidak, yang jelas mereka memerankan peran “kamuflase”. Itulah gambaran politik  Pilatus terhadap Yesus pada zamannya.

Sama halnya dalam kasus remisi para koruptor, kita saksikan para elit juga memainkan politik Pilatus. Sikap politik Pilatus adalah Plin-plan, tidak konsisten. Remisi diberikan ke para koruptor, sementara hukuman mati diberikan bagi para terpidana kasus narkoba. Apa bedanya terpidana kasus korupsi dengan kasus narkoba?. Dua-duanya  membawa dampak yang sama, yakni membunuh masa depan anak bangsa. Tetapi, karena dalam rangka politik “pencitraan”, remisi pun hanya diberikan pada kasus korupsi. Sedangkan terpidana kasus narkoba di hukum mati tanpa diberikan bantuan hukum atau solusi hukuman lainnya atas kasus yang menimpa mereka.

Kembali ke Politik Bonum Commune

Guna menangkal politik Pilatus di atas, salah satu jalan keluarnya adalah, elit negeri ini kembali pada jalaan politik bonum commune, yaitu jalan politik mensejahterakan rakyat. Elit harus merubah cara berpikir dari politik Pilatus yang mengedepankan “pencitraan” menuju ke politik bonum commune (kesejahteraan bersama). Berjuang bagi kesejahteraan umat, bagi kesejahteraan warga masyarakat harusnya menjadi sebuah cita-cita, sebuah ideologi bagi para elit negeri ini. Berjuang bagi politik kesejahteraan bersama masyarakat adalah jalan perubahan, jalan menuju bangsa semakin beradab dan maju.

Dengan memperjuangkan kesejahteraan bersama (bonum commune), kita yakin dan percaya, ekspetasi yang besar masyarakat Indonesia akan kepemimpinan Jokowi-Jk, akan tetap terjaga. Hal ini tentu saja diimbangi dengan kerja-kerja konkrit pemerintah guna menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat. Intinya, masyarakat sudah muak dengan retorika, janji serta pidato. Masyarakat lebih melihat kerja nyata pemerintah dalam memperjuangkan kesejahteraan. Sehingga ke depannya, kita berharap Indonesia semakin maju, jaya adil dan makmur. So,o saatnya berhenti menjadi Pilatus yang tamak atas kekuasaan,  tetapi, jadilah Yesus yang memperjuangkan bonum commune, termasuk rela mati di kayu Salib sebagai wujud kecintaan pada umat manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline