Lihat ke Halaman Asli

Sandyakala Tanjung Pura (Di Seberang Matahari 1914 - 1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Muara Sungai Pawan, Ketapang  22 Juli 1818

Tala terkejut, pelita di ujung perahunya padam bersamaan dengan dentuman meriam utama di Kapal Pangeran Cakra di Kuala Kandang Kerbau.

Sebagai seorang duli di armada dua panglima laut Kesultanan Tanjung Pura, Tala kenal benar sifat sang meriam, hanya akan bersendawa jika ada masalah. Dengan tangan gemetar, bukan karena takut tapi karena beban amanah yang dibawanya dari panglima adik, Pangeran  Adipati Gusti Mursal kepada Pangeran Cakra lah yang membuatnya bergidik. Meriam itu bersendawa sekali lagi, Kapal Bellona; armada laut Batavia kocar kacir dibuatnya, langit sudah menghadap fajar. Matahari timbul dari balik rimbun hutan kampung Darussalam. Tala menaiki tangga tali kapal Pangeran Cakra. Lelaki itu tegak berdiri menebar pandangan menuntaskan horison fajar shiddiiq dalam hembusan nafas panjang. Dia tak mengira luka terdiam lama itu masih menjangkiti sanubari sang adik. Bukan dia tak mau jadi Raja, tapi sebagai raja yg tunduk sujud pada kafir batavia? dia tak sudi, lebih baik mati syahid dibanding hidup hina dalam semakmuran kafir. Dibacanya lagi surat yg diberikan Tala padanya ... "kak mas, sendawe[1] ku habis, aku mundor" Demikian yg tertulis dalam aksara arab berbahasa melayu... azan berkumandang... Menantu Sulthan itu berdiri lama memandangi bintang terang di fajar berkabut... Sendyakala Tanjung Pura...

***

Tengoklah mak, bujang mu pulang, kusut benar mukenye...” Sauyah membuka telekungnya berlari kecil menuju ambang pintu, cahaya pawan berkilatan di penghujung kemarau membuat matanya sebentar tak memandang apa – apa. “usah becicak[2] gian bah... roboh gak pondok ni” Sauyah tak lagi mendengar kalimat itu,dituruninya titian pondok seakan kaki tak jejak di tangga, Ki Laji cuma tersenyum melihat tingkah istrinya. Sebenarnya ada rindu pula di hati lelaki bekas perwira laut di jaman Mas Ulum itu. Tapi sebagai penambat perahu, tugu tak boleh goyah, cukuplah tali yg melenggak lenggok mengikuti tarian perahu. Mata Ki Laji tak lepas dari anaknya, suram jelas terlihat dari wajah bujangnya. "Alhamdulillah... " kata Sauyah ketika sang anak sudah sampai dipelukannya "Allah masih berbaik dengan kau bujang" Sauyah menggoncang anak semata wayang nya,simpul terakhir keluarga. Bujangnya tersenyum kecil,membahagiakan orang tua. lalu berjalan menemui Ki Laji yg juga sudah turun dari pondok ditepian muara sungai Laur itu. Kibas daun bambu meneriaki buaya yg timbul dipekatnya sungai, Monyet berlarian memanjat akar jejawi. Ki Laji menerima salam anaknya yg baru pulang setelah dua bulan ke Kuala Tapang, mengabdi diri. "Apa kabar perang bujang, berapa penjajab kafir Belanda yg kau tembus ?" "hancur ... Pangeran Cakra mundur ke Lanjut, juga para dulinya, katanya dia tak mau berperang melawan adik sendiri" ki Laji menunduk teringat gagahnya Laksamana Mas Ulum meneriaki Kapal terakhir Batavia yang lari meninggalkan kuala. Dan kini... [1] Sendawe : Mesiu [2] Jangan berlari seperti itu Grand_Port_mg6973-1024x633.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline