Lihat ke Halaman Asli

Memaknai Kekuatan Kata

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

KERAPKALI kita tak sadar, banyak kata kata terlontar tanpa membuahkan makna yang berarti. Kini saatnya belajar memahami dan membentuk kata kata dalam bahasa yang menuai banyak makna. Ditengah polemik multidimensi dan perang argumentasi dunia, kata kata bisa menjadi mediasi , peredam dan penengah. Ditengah jebakan perang,kata kata dalam bahasa kata-kata yang mengalir dari pena jurnalis bisa juga menjadi belati yang menusuk uluhati para seteru. Pun di keramaian politik, rangkaian kata yang mengalir menjadi kalimat dari kreatifitas jurnalis mampu menggelitik, hingga para politisi matanya terbalik.

Memang harus diakui, dunia para jurnalis adalah dunia kata-kata yang tentu saja dalam setiap larik kalimat yang ditulisnya, baik berupa bahasa teks, maupun bahasa visual akan selalu melahirkan pro dan kontra (karena wartawan juga manusia) tetapi pada hakekatnya yang disampaikan wartawan adalah fakta, karena wartawan hanya menyampaikan apa yang dilihat dan didengarnya. Tetapi kerapkali penyampaian wartawan tersebut melahirkan interpretasi yang beragam dari orang-orang yang berkaitan dalam isi penyampaian itu, sehingga tidak jarang pula berita yang disampaikan wartawan ditanggapi dengan sikap yang reaksioner.

Berbagai kasus yang menimpa wartawan di Indonesia, agaknya akan terus mengepung, dan mengancam profesi yang konon menjadi pilar ke empat demokrasi ini. Masih belum terhapus di ingatan kita kasus terbunuhnya wartawan Bernas Yogyakarta Syafrudin, meski sudah 14 tahun lalu, tetapi hingga saat ini tidak pernah terungkap. Lalu Wartawan Radar Bali, AA Narendra Prabangsa, yang dibunuh secara keji dengan di buang ke laut oleh salah seorang keluarga pejabat Bangli. Dan kini, ketika umat Islam tengah larut dalam suasan religi, menguyup dalam ridlo Illahi, seorang wartawan dibantai secara sadis oleh orang-orang yang berperilaku primitive. Dan ironisnya, aparat terkesan lambat dalam menyikapi peristiwa yang mencoreng alam demokrasi di Indonesia.

Okelah kita tidak perlu berburuk sangka dengan menuduh aparat tinggal diam dalam mengungkap siapa pelaku pembunuhan Sdr. Muhammad Ridwan Salamun, karena kabar terakhir bahwa Polda Maluku telah menetapkan tersangka pelaku pembunuhan tersebut. Tetapi kami para Jurnalis agaknya tidak berlebihan kiranya jika mengharap adanya perlindungan bagi profesi Jurnalis. Karena diakui atau tidak, Jurnalis mempunyai peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih di alam demokrasi pasca reformasi di Negara Republik Indonesia.

Hari ini genap tujuh Hari meninggalnya Sdr. Ridwan Salamun, bertepatan dengan 17 Romadlon, waktu dimana sebuah maha petunjuk telah diturunkan Allah kepada umat manusia yaitu Qur’anul Karim, dengan  sebuah kata perintah “Iqro” Bacalah! Tentunya menjadi moment yang tepat bagi kita untuk membaca apa saja yang terjadi baik dalam diri kita sendiri maupun yang terjadi di luar diri kita, di sekitar kita.

Ditulis untuk orasi pada peringatan Hari Pers Nasional

di Halaman Sekretariat Persatuan Wartawan Bojonegoro 9 Februari 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline