Lihat ke Halaman Asli

Caesar Naibaho

TERVERIFIKASI

Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Tangkal Hoaks dengan Pendidikan di Dalam Keluarga

Diperbarui: 19 Agustus 2017   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hoax ini datangnya bagaikan air bah yang menerjang, membabi buta dan tak kenal toleransi!", itulah gumam teman seprofesiku melihat fenomena yang terjadi belakangan ini di negara kita. Tidak dapat dipungkiri, efek negatif dari pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah bebasnya kita untuk mengeksplorasi apa yang ada di dalam diri kita, sekitar kita, bahkan dengan entengnya ada pihak yang mengambil keuntungan dengan menyebarkan konten-konten negatif, ujaran-ujaran bernada provokatif hingga cepatnya menyebar berita-berita yang ternyata tidak benar alias hoax.

Tidak hanya didunia maya, didunia nyatapun kita harus berhadapan dengan para penyebar-penyebar berita palsu, penyebar ujaran kebencian, provokator hingga orang-orang yang suka menyulut terjadinya perpecahan. Yang paling parahnya lagi, kita begitu saja percaya akan sulutan emosi oknum-oknum provokator yang menyulut kemarahan warga, hingga warga hilang kesadaran, logika dan keyakinan mereka akan pembelaan dari orang yang disangkakan berbuat kejahatan, baik itu sekedar menghina, mencuri maupun merampok. Pokoknya sekali dituduh bersalah? Maka siap-siaplah jadi bulan-bulanan massa yang bisa berakhir dengan tragis!

Dan ternyata perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat tidak disikapi dengan baik, sehingga masyarakat kita seperti kecolongan ketika memanfaatkan media sosial dalam berkomunikasi. Ini jelas terlihat ketika penggunaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi dapat menjadi pisau bermata dua yang bila tidak disikapi dengan bijak dapat mengakibatkan bumerang ditengah-tengah masyarakat kita. Banyak contoh akibat ketidakbenaran informasi yang disebarkan alias berita hoax, ada pihak yang sangat dirugikan, tetapi ada juga pihak yang sangat diuntungkan dengan menyebarnya berita hoaxtersebut. Apalagi jika berita hoax yang disebarkan bisa menjadi viral?

Ternyata, penyebaran berita hoax, bukan tanpa alasan karena ternyata berita hoax yang menyebar sudah disetting sedemikian rupa barangkali oleh oknum atau kelompok tertentu untuk menyemarakkan dunia maya (cyber media) sehingga membuat kita bingung dan memaksa kita harus smart alias pintar dalam mengecek sebuah berita atau informasi yang kita dapatkan terlebih dahulu kebenarannya, sebelum kita mengamini, mempraktekkan, bahkan ikut menyebarkan informasi tersebut ke teman-teman kita. Sebab sekarang, fakta dari hasil riset membuktikan bahwa "dampak dari orang-orang yang dianggap berpengaruh di media sosial lebih kuat dibandingkan dengan iklan".

Sekarang kita lihat bagaimana boomingnya peran media sosial dalam penyebaran sebuah informasi dengan cepatnya. Ada fakta menyatakan bahwa penyebaran informasi via media sosial sangat cepat, karena: isinya bermanfaat untuk orang lain (58,7% atau 61 orang), isinya menarik (15,4% atau 16 orang), terkait dengan kondisi teman yang dishare (11,5% atau 12 orang), isinya benar (10,6% atau 11 orang), dan terkait dengan kondisi diri sendiri (3,8% atau 4 orang saja). Yang artinya, lebih dari separauh koresponden yakin bahwa berita yang ia dapat dan teruskan kepada orang lain memang bermanfaat bagi penerimanya. Masalahnya kemudian muncul ke permkukaan, "Apakah sudah benar berita atau pesan yang dia share tersebut?"

Konsultasi Dengan Keluarga!

Ternyata setelah saya teliti dengan baik selama berkecimpung di media sosial, baik itu facebook, twitter, hingga telegraph tidak jarang kita temui banyak penyebar berita hoax alias berita yang tidak benar dan akun-akunnya juga sudah kita tau dan bahkan sepertinya ada kesengajaan agar dunia maya ramai dengan keberadaan akun-akun tertentu yang tugasnya memang untuk menyebar hoax dan sepertinya mendapat keuntungan dari hasil postingan yang dishare sebanyak-banyaknya hingga menjadi viral.

Oleh karena itu, sekali lagi kebijaksanaan dan kemampuan intelektual serta kemampuan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita pelajari sangat dibutuhkan untuk menangkal dan tidak mudah menerima serta terjerumus hingga menjadi bagian dari sumber berita yang tidak benar tersebut. Lagi-lagi Keluarga, menjadi kata kunci yang tepat sebagai tempat berlindung dan melindungi keluarga dari penyebaran berita hoax yang datangnya bagaikan air bah tersebut.

Era digital tidak dapat dipungkiri telah menjadi eranya kita menjadi bebas untuk mengekspresikan diri dan bebas untuk berkomentar apa saja tanpa ada batasan lagi dan juga eranya kita bisa melihat semua dunia dalam genggaman kita. Ibaratnya, benarlah bahwa dengan era digital, maka dunia sudah selebar daun kelor! Juga era digital menjadikan sesuatu itu terang benderang alias sudah menuju era keterbukaan yang memaksa kita harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Era dimana kita mengesampingkan bersosialisasi dengan verbal, tetapi bersosialisasi dengan smartphone maupun gadget masing-masing. 

Era dimana kita lebih menggunakan teknologi untuk berkomunikasi, walau manusia yang kita ajak berkomunikasi itu ada disamping kita, bahkan satu rumah. Tetapi kita lebih suka memanggil dia dengan teknologi smartphone kita daripada teriak-teriak, padahal satu rumah. Itulah tantangan di era digital, dimana teknologi informasi komputer, internet telah mampu merubah budaya dan perilaku masyarakat kita untuk beralih ke media yang lebih cepat dan memudahkan, alias serba istant.

Nah, oleh karena itu untuk menangkal pengaruh-pengaruh negatif dari era digital tersebut, maka kembali Keluarga sebagai Sekolah yang pertama dan utama dalam membentuk karakter anak-anak harus mampu dioptimalkan dalam mendidik anak-anak agar cerdas dalam mengsiasati peran teknologi informasi dan komunikasi serta gadget atau smartphone tersebut. Sehingga anak-anak kita tidak terkontaminasi sebelum usianya memang sudah matang dan layak untuk terjun ke dunia digital.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline