Teroris ada di Indonesia? Itu bukanlah isapan jempol belaka, belakangan ini kita dihadapkan pada kenyataan para teroris melakukan aksi-aksi yang semakin membabi buta dan semakin nyata melakukan serangan-serangan yang terkesan nekat mengganggu ketertiban, keamanan dan kenyamanan di tanah air kita ini. Contoh paling nyata, ketika Sumatera Utara yang dijuluki juga dengan Suwarnadwipa, tepatnya di ibukotanya, kota berjuluk Bandar Melayu tiba-tiba diteror oleh sekelompok teroris yang melakukan aksi brutalnya dengan menyerang Pos penjagaan di Markas Polda Sumatera Utara, Minggu (25/6/2017) dini hari.
Dalam peristiwa tersebut yang masih dalam suasana Lebaran, dua orang terduga teroris tiba-tiba menyerang polisi yang berjaga-jaga di Pos penjagaan yang mengakibatkan Aiptu Martua Sigalingging tertusuk pisau pelaku, sementara temannya Brigadir E Ginting yang berjaga-jaga di luar Pos juga tidak luput dari serangan yang mengakibatkan Brigadir Ginting meminta pertolongan kepada Brimob dan melakukan tindakan tegas dengan menembak pelaku teroris yang mengakibatkan satu orang tewas dan satu orang lagi kritis terkena timah panas anggota Brimob. Sementara naas bagi Aiptu Martua Sigalingging yang tewas ditempat oleh tusukan pelaku di bagian leher, dada dan tangan. (sumber: Kompas)
Ironis memang, karena sasaran dari para teroris adalah objek-objek vital Negara Republik Indonesia yang harus dijaga keamanan dan keberadaannya sebagai kekuatan bangsa kita. Seperti modus operasi para teroris yang melakukan penyerangan di markas Polda Sumut yang bertujuan untuk merampas senjata dan membakar pos penjagaan dan berencana melakukan teror yang lebih besar. Lantas yang menjadi pertanyaan, mengapa yang menjadi sasaran adalah Polisi yang tidak berdosa dan bertugas saat menjalankan tugas menjaga keamanan dan kenyamanan Indonesia?
Tidak hanya di Sumut saja, tanggal 30 Juni 2017, kita kembali dihebohkan dengan peristiwa serupa. Kali ini terjadi di Jakarta Selatan, tepatnya di Masjid Faletehan samping lapangan Bhayangkara Mabes Polri. Dua orang anggota Brimob, AKP Dede Suhatmi dan Briptu M Syaiful Bahtiar menjadi korban penusukan usai melaksanakan sholad isya berjamaah yang membaur dengan masyarakat sekitar Mabes Polri (sumber: Kompas).
Pertegas Peran dan Fungsi Polisi
Dua kasus diatas hanyalah segelintir dari upaya kejahatan yang terjadi di sekitar kita yang bertujuan untuk membuat resah dan mengganggu ketertiban dan ketentraman di tengah-tengah masyarakat kita dan Polisi menjadi target utama, karena Polisi atau Polri menjadi Subjek pemerintah yang bertujuan untuk melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi menjadi alat negara untuk menegakkan hukum di negara ini, sebagai subjek yang dibentuk untuk memberikan perlindungan, penganyoman dan pelayanan kepada masyarakat sehingga terwujud keamanan dan kenyamanan di tanah air kita tercinta ini, juga menjamin terwujudnya penegakan hukum dan terselenggaranya perlindungan, penganyoman dan pelayanan publik, serta adanya rasa aman dengan menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Memang ibarat buah simalakama, begitulah kehadiran Polri atau Polisi di tengah-tengah masyarakat. Bertindak amat tegas, maka semua persoalan di negeri ini bisa diatasi dengan baik, semua kasus yang ditangani akan selesai dengan baik, jika Polri atau Polisi mampu memainkan peranan pentingnya sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban serta memastikan terciptanya penegakan hukum, memberikan penganyoman dan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan perlindungan dan keselamatan seluruh masyarakat Indonesia didalam wilayah kesatuan Negara Republik Indonesia tanpa terkecuali.
Tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa Polisi atau Polri dalam menjalankan tugasnya tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, karena terbentur dengan masalah kepentingan, sehingga tidak mengherankan apabila penyelesaian berbagai kasus besar maupun yang kecil tidak dapat diselesaikan dengan baik, karena terbentur dengan masalah kepentingan didalam tubuh Polri atau kesatuan Polisi tersebut.
Baik mulai dari tingkat pusat yang biasa disebut dengan Markas Besar Polri yang wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Kapolri yang bertanggung jawab penuh kepada Presiden, kemudian wilayah ditingkat Provinsi yang disebut dengan Kepolisian Daerah yang biasa disebut dengan Polda dan dipimpin oleh seorang Kapolda yang bertanggung jawab kepada Kapolri, hingga ke tingkat Polres dan Polsek harus mampu menunjukkan peranannya sebagai penganyom masyarakat.
Tetapi apa yang terjadi? Dalam undang-undang No. 2 tahun 2002, disebutkan salah satu kebijakan teknis Kepolisian, adalah: Melaksanakan penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan kegiatan operasional dan pembinaan kemampuan kepolisian yang dilaksanakan oleh seluruh fungsi kepolisian secara berjengjang mulai dari tingkat pusat hingga tingkat daerah yang terendah, yaitu Pos Polisi, dan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian secara hirearki dari tingkat paling bawah ke tingkat pusat, yaitu Kapolri, yang selanjutnya Kapolri bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia, karena Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR-RI.
Namun, terkadang banyak oknum Polisi bertindak tidak sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan perananya yang tujuannya memberikan rasa aman bagi seluruh masyarakat tanah air tanpa terkecuali. Sudah rahasia umum bahwa terkadang oknum Polisi bahkan menjadi oknum yang dijadikan 'beking' atau orang yang melindungi atau menyokong pengusaha-pengusaha atau sekelompok orang yang mempunyai kepentingan besar dan memiliki uang yang banyak untuk memberikan dana lebih kepada oknum Polisi untuk melakukan pengamanan atau memastikan usaha mereka aman berjalan lancar, walaupun itu bertentangan dengan hukum.