Massimiliano Allegri mungkin pelatih yang sangat beruntung ketika datang ke Turin, tepatnya ke markas klub paling sukses di Italia, Juventus Stadium menggantikan peran Antonio Conte yang menukangi gli azzuri sebelum hijrah ke Chelsea musim 2015-2016, kenapa? Karena di Juventus, Massimo Allegri dianugerahi para pemain-pemain kelas wahid yang tinggal di poles sedikit lagi dan disisipi pemain-pemain berkelas untuk menyempurnakan skuad-nya demi mempertahankan persaingan di Seri A, Copa Italia hingga gelar bergengsi yang tak kunjung singgah, apalagi kalau bukan Juara Liga Champions, gelar paling bergengsi di benua biru?
The old lady adalah salah satu klub terbaik di dunia hingga sekarang. Itu tidak terbantahkan, dominasi mereka di Seri A Italia tidak diragukan lagi. Kala klub-klub pesaing mereka seperti AC Milan, Inter Milan, Roma, Sampdoria hingga Parma yang pernah merajai daratan eropa di era 90-an kini ‘megap-megap’ untuk bersaing saja dengan Juventus, maka si nyonya tua menujukkan konsistensinya dengan menjuarai Seri A sebanyak enam kali berturut-turut pasca kembali dari pembuangan di Seri B setelah tercampak oleh kasus Calciopoli yang menjerat tim asal ibukota tersebut di tahun 2006. Kebangkitan yang luar biasa, karena hanya butuh empat tahun untuk mengembalikan kejayaan La Vecchia Signora di Seri A dengan memecahkan rekor baru menjadi juara dari musim 2011/2012 hingga 2016/2017.
Kesetiaan Gianluigi Buffon, kiper yang direkrut dari Parma musim 2000-2001 ini menjadi kunci kesuksesan Bianconeri hingga sekarang. Bagaimana tidak? Juventus yang terseok-seok tidak membuat Buffon tergiur dengan tawaran setinggi langit untuk pindah, tetapi malah tetap memilih bertahan menjadi portiere Juve hingga di usia yang hampir 40 tahun. Belum lagi kecakapan direktur olahraga Fabio Paratici yang jeli melihat talenta dan kebutuhan skuad Massimo Allegri tersebut. Lini belakang yang super kuat dengan kwartet BBBC (Buffon, Bonucci, Barzagli dan Chiellini) menjadi garansi Allegri untuk menghadapi keganasan kombinasi trio penyerang Madrid, BBC (Bale, Benzema dan Cristiano R) yang bakalan disuplai oleh Modric, Isco atau Toni Kroos, sementara Casemiro akan menjadi gelandang pengangkut air yang bertugas untuk memutus serangan Juventus yang juga bakal dimotori oleh Miralem Pjanic, Alex Sandro dan Juan Cuadrado. Sementara Sami Khedira yang sudah tau dapurnya Madrid, karena pernah berbaju Madrid selama lima musim bakal berkolaborasi dengan Dani Alves yang juga mantan pujaan hati Barcelonistas, yang sudah sangat familiar dengan skuad Madrid karena selama delapan tahun berkostum Barca, Dani Alves adalah pemain yang paling sukses ‘mengunci’ pemain sayap Madrid dan pernah mencetak gol indah ke gawang Madrid tahun 2012.
Sementara itu, para penyerang Bianconeri bakal memanfaatkan peluang sekecil mungkin untuk menjebol gawang Madrid yang bakal dikawal oleh Keylor Navas, mengingat Pepe, Sergio Ramos dan Ravael Vanare atau Daniel Carvajal masih sering melakukan kesalahan dan emosi kadang tidak terkontrol bakal di manfaatkan dengan baik oleh attacante yang sarat pengalaman bermain dengan skuad Madrid sekelas Gonzalo Higuain yang dibuang Madrid ke Napoli, hingga direkrut Juventus yang pastinya memiliki ‘dendam kesumat’ dan berambisi mempermalukan Zidane yang tidak memasukkan namanya dalam skuad inti Madrid. Pun dengan Mario Mandzukic, mantan pujaan Atletico Madrid yang tentunya sudah sering berbenturan dan tau betul bagaimana memancing emosi Pepe dan Ramos dan mengelabui mereka untuk membuka celah bagi Paulo Dybala mencetak gol dan membawa kemenangan bagi Juventus dalam final impian Liga Champions 2017 yang bakal dihelat di Cardiff Stadium, Wales pada Minggu dini hari, 04 Juni 2017 nanti.
Pertandingan yang sarat nuansa history, dendam, ambisi dan tentunya pentahbisan klub terbaik di dunia tahun 2017 ini. Ada beberapa fakta yang sangat menarik untuk diulas dalam final LC tahun ini, diantaranya:
Pertama, tentunya emosi dan keterikatan batin antara Juventus dan Zidane yang sangat mendarah daging hingga sekarang. Ingat, Zidane pernah menjadi ikon sekaligus urat nadi permainan si nyonya tua selama lima musim dan menghantarkan Il Bianconeri dua kali juara Seri A, satu kali Super Copa, Piala UEFA dan Piala Dunia Antar Klub. Hanya satu penyesalan Zidane yang membuat dia memutuskan hengkang ke Real Madrid dengan bayaran termahal seantero jagad, yaitu Piala Champions yang gagal dia bawa ke kota Turin markas Juventus. Final pertama di musim 1996/1997 kala bersua dengan Borusia Dortmund di Munchen. Ketika itu, Zidane sebagai playmaker tidak mampu membawa Juventus menjadi juara dan kalah 3-1.
Kembali tahun 1998, Juventus kalah dari Los Marangues, julukan Madrid yang kini dibesut oleh Zidane sendiri lewat gol tunggal Pedrag Mijatovic. Kini setelah 21 tahun, kembali Zidane bersua Juventus dalam final impian dan mampukah Zidane membuat sejarah baru dengan merengkuh tropi bergengsi di benua biru sebanyak dua kali berturut-turut? Atau mampukah Allegri mematahkan ‘kutukan’ sial Juventus tidak bisa juara semenjak berganti nama menjadi Liga Champions Eropa? Tentunya kekalahan dari Barcelona di final LC 2015 menjadi pelajaran berharga buat Juventus untuk meladeni Real Madrid.
Kedua, siklus tujuh tahunan selalu menampilkan tim Italia berada di final Liga Champions. Semenjak terakhir kalinya menjadi juara tahun 1996 dengan mengkandaskan Ajax lewat adu penalti, Juventus kembali menapakkan kaki di final dua musim berikutnya, tetapi gagal. Juventus kembali ke final tahun 2003 berhadapan dengan AC Milan dalam final sesama tim Italia. Hasilnya? Rossoneri menekuk Bianconeri lewat adu penalti. Siklus tujuh tahun berikutnya, Inter Milan yang merengkuh si kuping besar setelah mengkandaskan Bayern Muenchen di Santiago Bernebeu dengan skor 2-0.
Tujuh tahun berikutnya? Kini Juventus ada di final dan bersiap untuk melanjutkan siklus tersebut dengan syarat harus mampu mengalahkan Real Madrid dengan berbagai cara, termasuk parkir buslalu melancarkan serangan balik, atau bisa juga dengan pola lama yang terkadang sangat manjur bila diterapkan, apalagi kalau bukan catenaccio ala Allegri yang tentunya sudah sangat fasih dimainkan oleh skuadnya dalam format 4-3-2-1 yang bisa berevolusi menjadi 4-3-3 atau 3-5-2, sesuai dengan kebutuhan tim.
Ketiga, Allegri yang dulunya dianggap terlalu lembek dalam menangani Juventus peninggalan Conte, ternyata mampu memberikan bukti dengan sentuhan-sentuhan amazing di luar lapangan. Pendekatan Allegri terhadap para skuad bertabur bintang termasuk yang terbaik, salah satu buktinya ketika akan menjamu el barca di babak perempat final LC maret lalu. Kala itu, ada pertikaian antara sang altenatore, Allegri dengan difensore Leonardo Bonucci yang berujung pada hukuman denda dan larangan bermain oleh petinggi klub. Namun, konsolidasi ala Allegri mampu mencairkan suasana, kharisma seorang Allegri mampu membuat Bonucci cepat sadar diri dan mentraktir seluruh punggawa Juventus dalam sebuah jamuan makan di restoran terkenal di Torino bernama Trattoria Fratelli Bravo, untuk menguatkan rasa saling memiliki dan sebagai keluarga besar Juve yang berhasrat untuk meraih treble winner harus mengesampingkan ego masing-masing dan percaya penuh pada keputusan pelatih dalam menentukan siapa pemain utama dan siap jadi cadangan.
“Makan malam sudah terbayar!!! Kekuatan ekstra menuju tiga target musim ini!!!”, ungkap Bonucci kegirangan usai membayar utang. Dan hasilnya? Terbukti, dua gelar telah mereka kunci, Copa Italia menjadi gelar pertama usai mengalahkan Lazio dengan skor 2-0. Uniknya, gol kedua dicetak oleh Bonucci, sang pentraktir jamuan makan ala Juventus tersebut. Gelar kedua? Tentunya gelar Seri A ke-33 sepanjang sejarah klub berdiri. Menang atas Crotone, Juventus tidak bisa dikejar oleh Roma yang unggul empat poin di puncak klasemen dan Juve-pun berpesta menyambut gelar ke-6 berturut-turut, sungguh prestasi yang bakal sulit dilakukan oleh tim manapun di benua sepakbola ini.