Lihat ke Halaman Asli

Caesar Naibaho

TERVERIFIKASI

Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Blog, Gerakan Literasi Nasional Hingga Manfaat Peningkatan Mutu Pendidikan

Diperbarui: 4 Februari 2017   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Mengajarkan Blog kepada Peserta didik. sumber: www.kemdikbud.go.id

Kita boleh bangga sebab sekolah-sekolah di negara kita dicap sebagai sekolah yang paling bahagia dan bersahabat bagi para siswanya. Eits tapi tunggu dulu, sekolah yang bisa membahagiakan siswanya dalam bidang apa? Ternyata setelah ditelusuri membahagiakan dalam arti sekolah di negara kita lebih berorientasi pada taman, yah taman bermain dan menghadirkan generasi yang santai. Tetapi dalam hal prestasi belajar? Kita masih jauh dari negara-negara tetangga peserta PISA (Programme for International Student Assessment), seperti Singapura, Thailand, Vietnam dan Malaysia. Setidaknya itu data hasil PISA tahun 2013 dan 2016.

Apa itu PISA? Sekelumit PISA adalah studi internasional yang memfokuskan pada prestasi membaca, matematika dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun. Dan Indonesia rutin mengikuti program ini sejak tahun 2000. Tujuan dari tes PISA yang diinisasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia. PISA mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dia lakukan (aplikasi) dengan pengetahuannya. Tema survei digilir setiap 3 tahun, tahun 2015 fokus temanya adalah kompetensi sains.

Ternyata, berturut-turut rata-rata skor pencapaian siswa-siswi Indonesia untuk sains, membaca, dan matematika berada di peringkat 62, 61, dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi di tahun 2015 dan tidak jauh beda dengan hasil yang sama di tahun 2012. Yang artinya kita para pembuat kebijakan pendidikan, tokoh pendidikan, kaum akademis hingga stakeholder pendidikan perlu membuat terobosan baru, lebih kreatif dalam mendorong dan meningkatkan kualitas pendidikan tanah air kita.

Gerakan Literasi Nasional

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengungkapkan, “Peningkatan capaian anak-anak kita patut diapresiasi dan membangkitkan optimisme nasional, tapi jangan lupa masih banyak PR untuk terus meningkatkan mutu pendidikan karena capaian masih di bawah rerata negara-negara OECD. Bila laju peningkatan capaian ini dapat dipertahankan, maka pada tahun 2030 capaian kita akan sama dengan rerata OECD”, menyikapi hasil PISA yang dirilis Desember 2016 yang lalu.

Salah satu bentuk gebrakan beliau untuk meningkatkan minat membaca, menulis, matematika hingga ilmu pengetahuan dan teknologi alias sains adalah dengan menggalakkan GSN (Gerakan Literasi Nasional) sebagai Budaya Literasi untuk menumbuhkan insan pembelajar baik di lingkungan sekolah maupun di rumahnya masing-masing. Gerakan ini diharapkan mampu menumbuhkan minat membaca dan menulis dari seluruh elemen masyarakat, terutama dalam diri kalangan pelajar tanah air.

Menumbuhkan budaya baca ini sangat penting mengingat dari tahun ke tahun, kita mengalami krisis moral yang diawali dari fakta bahwa bangsa kita ternyata punya minat baca yang sangat rendah, lebih rendah dari Negara tetangga Malaysia. Padahal, kemampuan dan keterampilan membaca adalah dasar bagi seseorang memperoleh pengetahuan, keterampilan dan pembentukan sikap dalam menghadapi suatu permasalahan. Menjadi generasi literat berarti menuju masyarakat Indonesia yang kritis dan peduli. Artinya, kritis terhadap segala informasi yang diterima, sehingga tidak bereaksi secara emosional, tidak gampang dihasut dan peduli terhadap lingkungan sekitar kita.

Sekarang ini kita menghadapi persoalan maraknya berita-berita hoax, alias artikel yang informasinya tidak valid atau tidak teruji kebenarannya dan banyak orang sembarangan membagikannya tanpa mempertimbangkan baik-buruknya dan tidak pula membaca seluruh isinya dengan seksama sehingga yang terjadi perang argument yang berujung pada konflik masyarakat akibat kita tidak mampu memilah mana berita benar, mana yang tidak benar.

Ada enam komponen dalam literasi dasar yang disimpulkan saat Forum Ekonomi Dunia 2015 dengan tema “Visi Baru untuk Pendidikan: Membina Pembelajaran Sosial dan Emosional melalui Teknologi”, diantaranya: kemampuan baca-tulis-berhitung, sains, teknologi informasi dan komunikasi (TIK), keuangan, budaya, dan kewarganegaraan. Dan kita hidup di era teknologi yang pasti sekarang ini berkutat dengan perangkat-perangkat teknologi dalam berkomunikasi di tengah-tengah masyarakat dan kehadiran internet telah membuat kita terkoneksi antara satu sama lain sehingga informasi dan komunikasi dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

Perangkat teknologi yang super-modern inilah yang membuat kita berada dalam dilema karena bagaikan pisau bermata dua, disamping bermanfaat, juga bisa mengakibatkan efek negatif yang menjebak kita apabila tidak memiliki kemampuan literasi yang baik. Karena literasi tidak hanya mencakup kemampuan membaca dan menulis tetapi juga kemampuan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat.

Menyasar ke dunia pendidikan, perangkat teknologi telah digunakan sebagai perangkat pendukung proses belajar mengajar. Guru tidak lagi sebagai sumber utama pembelajaran tetapi lebih kepada fasilitator yang di tuntut dapat melakukan proses pembelajaran dengan perangkat teknologi yang sudah berkembang. Contohnya, melakukan proses pembelajaran jarak jauh, mencari sumber belajar yang lebih lengkap dan menyajikannya dengan memanfaatkan aplikasi yang tersedia baik dalam bentuk video maupun presentasi dan yang paling era kekinian adalah memanfaatkan blog dan media sosial sebagai sarana belajar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline