Lihat ke Halaman Asli

Caesar Naibaho

TERVERIFIKASI

Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Tirulah Jejak Baik Ayahmu, Buanglah Sifat Buruk Ayahmu

Diperbarui: 14 November 2016   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi, sumber: www.detikcinta.com

Ayah, sosok penting dalam proses regenerasi. Tanpa ada benih seorang ayah, maka kita tidak akan pernah ada di muka bumi ini. Ayah adalah sosok penting dalam sebuah proses mengandung ibu selama sembilan bulan, melahirkan, dibesarkan, hingga kembali membentuk regenerasi baru. Menjadi kepala keluarga adalah kodrat seorang ayah. Sebenarnya secara logika, tanpa ada ayah, maka peran ibu-pun tidak ada apa-apanya. Ayah adalah segala-galanya, setidaknya dalam proses Penciptaan Manusia pertama-pun kita di dogma akan awal penciptaan Adam sebagai manusia pertama berjenis kelamin pria dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagai ibu dan pendamping Adam.

Presiden pertama, Ir Soekarno juga sangat mengerti akan filosofi peran Ayah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dia-pun merancang sebuah simbol akan kekuatan Negara Republik Indonesia yang berdiri tegak dari Sabang sampai Merauke dalam sebuah bentuk karya seni yang melambangkan kebanggaan seorang Ayah. Yah, tugu Monas terinspirasi dari kekuatan seorang lelaki.

Ayah yang baik adalah ayah yang tidak hanya bisanya ‘membuat’ anak, menjadi boss di rumah karena predikat ‘Kepala Keluarga’, yang dilayani, yang paling menyedihkan lepas tanggung jawab dan lari dari kenyataan dengan meninggalkan keluarga yang morat-marit karena keadaan ekonomi.

Tetapi di era kekinian, ayah yang baik itu adalah ayah yang mampu mengerti akan keadaan keluarga, mampu bekerjasama dengan isteri, saling membagi tugas dengan isteri dalam menjaga anak-anaknya, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, yang paling penting tidak pernah sekali-kali mencela isteri maupun anak-anaknya, apalagi mencoba kabur dengan alasan yang menyakitkan; “Saya sudah bosan dengan kamu!”, “Saya menyesal kawin dengan kamu!”, “Saya tidak tahu kalau kamu punya sifat seperti ini!”, dsb. 

Namun yang terjadi sekarang ini? Kita melihat fakta bahwa keluarga hancur lebur karena perilaku suami atau ayah dari anak-anaknya. Sang suami lebih cenderung bersikap kasar, putus asa, gampang menyerah dengan keadaan, tidak fight melawan segala hawa-nafsu atau godaan-godaan untuk selingkuh, apalagi di era media sosial, dimana tawaran akan gampangnya terjerumus ke hal-hal negatif terpampang dengan jelas di pelupuk mata untuk menjadikan Ayah berperilaku poligami atau pindah ke lain hati.

Saya sering menghadapi kasus selama menjadi pendidik yang sangat menyentuh hati, terkadang geram karena perilaku sang ayah si murid yang minggat dari rumah dan membiarkan sang ibu merawat, memenuhi kebutuhan hidup sang anak pasca si ayah kawin lari. Si ibu harus pontang-panting nyari duit demi biaya sekolah anak. Sampai menjadi tukang cuci-pun rela dijalani asalkan si anak bisa sekolah. Ketika sang anak curhat ke saya selaku wali kelasnya, apalagi sang ibu datang ke sekolah untuk memohon dispensasi atau kemudahan, maka saya-pun melakukannya.

Nah, sudah saatnya ayah harus cerdas, artinya mengutamakan keluarga dan bekerja untuk keluarga. Sang anak harus belajar dari ayah-nya dan harus bisa lebih sukses dari ayahnya. Jika ayah tamatan SMA misalnya, maka kita harus bisa lebih dari dia, harus tamat S-1 misalnya. Ayah harus bisa dijadikan panutan. Seperti mendiang ayah saya. Dia tetap pahlawan saya, walau punya ciri khas negatif, seperti: pemarah, mau melempar piring saat marah, egois, jika ada yang ingin dikejar selalu ngotot untuk mendapatkannya dan jikalau bekerja, terkadang lupa waktu.

Dibalik itu, dia punya pekerjaan mulia yang ternyata tertular kepada saya. Menjadi pendidik adalah pekerjaan mulia beliau dan sepanjang menjadi guru tersebut, beliau tidak pernah terlambat, selalu menerapkan disiplin tingkat dewa kepada muridnya di sekolah, selalu mengutamakan pekerjaan di sekolah daripada ada di kedai-kedai kopi. Beliau tidak merokok, selalu mengajarkan ‘hemat pangkal pandai’, dan yang lebih penting, “Sekolah dan Belajar-lah, sebab hanya Pendidikan yang bisa mengubah nasib hidupmu!”, pesan beliau ketika kami sama-sama di ladang sepulang sekolah.

Kebiasaan baik beliau namun selalu membuat saya kadang jengkel adalah saya selalu orang yang diajak dan disuruh-suruh, entah kenapa. Baru sekarang saya menyadari kenapa beliau lebih memilih saya untuk diajak kemana-mana. Prediksi beliau akan kehidupan guru yang lebih baik ternyata tepat dan selalu memotivasi saya agar mau menjadi guru, profesi yang kala itu hidup dengan pas-pasan.

Kini saya mengerti, kenapa ayahku selalu bersikap keras dalam mendidik kami. Jadi, jika ingin menjadi ayah yang baik di dalam keluarga yang dibina, maka yang perlu dilakukan oleh calon atau yang sudah menyandang status AYAH, adalah belajarlah dari AYAHMU terdahulu, lihat dan renungkanlah, mana sisi baik Ayah yang melahirkanmu, lanjutkan alias tirulah, tetapi mana tabiat atau perilaku yang buruk? Hindari alias hilangkanlah dalam membina rumah tanggamu!. Salam..Hari Ayah !      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline