Lihat ke Halaman Asli

Caesar Naibaho

TERVERIFIKASI

Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

7 Manfaat Gerakan Orang Tua Mengantar Anak Ke Sekolah

Diperbarui: 13 Juli 2016   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dukung gerakan mengantar anak di hari pertama. sumber gambar : www.suaramerdeka.com

Dalam sebuah kesempatan, Ki Hajar Dewantara pernah berujar “maksudnya Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Tujuan pendidikan itu ialah kesempurnaan hidup lahir batin sebagai satu-satunya untuk mencapai hidup selamat dan bahagia manusia, baik sebagai individu, maupun sebagai anggota masyarakat (sosial)”. 

Lebih lanjut menurut beliau bahwa “Pendidikan berarti daya upaya untuk memasukkan ‘bertumbuhnya’ budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran, (intellect) dan tubuh anak – sebagai kesatuan – agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak yang kita didik selaras dengan dunianya. ” (TS, 1977). 

Ki Hajar Dewantara, dengan penuh perjuangan dan kerja keras berhasil mendirikan Taman Siswa, sekolah pertama di republik ini pada tanggal 3 Juli 1922 yang bertujuan untuk mendidik putra-putri terbaik bangsa Indonesia dalam persiapan pembangunan setelah Indonesia merdeka, sebab pada waktu itu pendidikan kolonial Belanda tidak sesuai dengan kemajuan jiwa-raga bangsa Indonesia, pendidikan oleh pemerintahan penjajah hanya untuk kepentingan kolonial saja, sementara Ki Hajar berpandangan luas yang nantinya menginginkan setelah Merdeka, bangsa ini tidak tergantung kepada bangsa asing, tetapi mampu membangun dengan Sumber Daya Manusia Indonesia yang terampil dan berpendidikan.

Maka Ki Hajar Dewantara membangun metode pendidikannya dengan konsep among methode atau among system, yaitu menyokong kodrat alamnya anak yang kita didik, agar dapat mengembangkan hidupnya lahir dan bathin menurut kodratnya sendiri-sendiri, sehingga beliau menciptakan tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan itu berpusat pada keluarga, sekolah, dan masyarakat yang saling bersimbiosis dan saling mendukung dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 

Selama bertahun-tahun, spirit pendidikan dari keluarga, sekolah, dan masyarakat tumbuh dan berkembang dengan baik, dimana guru mampu memainkan perannya sebagai ujung tombak pendidikan dengan mendidik dan mengajar, lebih dari itu bahkan bisa sebagai mediator dan fasilitator agar transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berjalan dengan baik. Orang tua juga mampu memainkan peranan penting dalam upaya membangun karakter anak.

 Dasar-dasar pendidikan, diberikan oleh orang tua sebagai bentuk tanggung jawab kodrati dan atas dasar kasih sayang yang secara naluriah muncul pada diri orang tua. Orang tua mengajarkan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang menurut masyarakat adalah perbuatan yang terpuji dan mana yang tidak.

 Fungsi keluarga yang meliputi fungsi biologis, fungsi ekonomi, fungsi edukatif, fungsi religius, fungsi sosialisasi, fungsi rekreasi, dan fungsi orientasi seharusnya telah diterapkan dalam keluarga sebagai fase pertama sebelum anak terjun di tengah-tengah masyarakat atau sebelum anak menempuh pendidikan formal di sekolah sebagai satu kesatuan (unit) sosial atau lembaga sosial yang secara sengaja dibangun dengan kekhususan tugasnya untuk melaksanakan proses pendidikan.

Namun, seiring dengan kemajuan dan perubahan era yang ditandai dengan pesatnya perkembangan TIK dan bergesernya paradigma bahwa sekolah adalah tempat satu-satunya peserta didik ditempa dengan menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak menjadi tanggung jawab sekolah, tanpa mengindahkan pendidikan dalam keluarga menjadikan sistem pendidikan kita mengalami pergeseran yang signifikan dan tidak sesuai lagi dengan apa yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara.

 Ini terlihat jelas dengan kejadian-kejadian penting yang sudah meresahkan dunia pendidikan kita, mulai dari etika dan moral yang tergerus dimana siswa dan orang tua kompak menyalahkan guru yang tidak sekedar mengajar, tetapi mendidik dengan hati (karena saking sayangnya pada siswa, sang guru mencubit siswa yang bandal) – padahal jauh dari era reformasi hal tersebut wajar-wajar saja – yang berujung penjara bagi guru. 

Kasus kriminalisasi pada guru menjadi tantangan baru bagi guru yang entah kenapa menjadi subjek yang paling dicari-cari kesalahannya, sehingga guru dituntut harus lebih kreatif, inovatif, dan menyenangkan saat mengajar. Untuk mendidik siswa sekarang, tidak hanya kesabaran yang dibutuhkan, tetapi juga kemampuan untuk mendidik dengan metode-metode mengajar yang lebih maju.

Disamping kriminalisasi guru, maraknya aksi-aksi tidak terpuji oleh anak-anak usia sekolah di kalangan masyarakat yang beredar cepat lewat media sosial menjadi borok dunia pendidikan kita. Orang tua menyalahkan guru, guru menyalahkan orang tua, masyarakat menilai guru dan orang tua sama-sama salah, padahal sebenarnya yang terjadi adalah realita bahwa sistem pendidikan yang kita anut selama ini ternyata terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif), yaitu : hasil akhir dari pemberian ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan selama di sekolah, tanpa memperhatikanperkembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa) pada siswa kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline