Lihat ke Halaman Asli

Caesar Naibaho

TERVERIFIKASI

Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Ironi Sepak Bola Nasional di Era Kabinet Kerja

Diperbarui: 24 Januari 2016   20:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Menunggu Turnamen berikutnya, kapan PSSI kemenpora islah ?"][/caption]

Tahun 2015 telah berlalu, namun tahun kegaduhan PSSI kontra Kemenpora yang diawali oleh keberanian Imam Nahrawi selaku Mempora membekukan legalitas induk sepakbola tertinggi di tanah air bernama PSSI. Kemenpora dengan dalih untuk memperbaiki kondisi sepakbola nasional, per tanggal 17 April 2015 mengambil alih kekuasaan atas PSSI dan menyatakan semua apa yang akan dan telah dilakukan PSSI adalah ilegal, tidak syah yang berujung pada sanksi FIFA karena ada intervensi Pemerintah dalam mengurus PSSI yang independent.

Kisruh pun terjadi, seperti kita tau bersama, kompetisi disemua level distop, ribuan pemain sepakbola yang bermain di kompetisi profesional, hingga amatiran tiba-tiba tidak memiliki penghasilan, gaji mereka distop karena kompetisi hilang bak ditelan bumi. Tidak ada bentuk pertanggungjawaban resmi, kecuali janji untuk membuat beberapa turnamen untuk mengisi kekosongan kompetisi lokal. Sungguh mengasyikkan sekaligus miris melihat apa yang terjadi di SepakBola Nasional medio April hingga akhir tahun 2015. Dalam kurun waktu yang begitu lama, kita disuguhi turnamen Piala Presiden, Piala Kemerdekaan, dan sekarang hingga tulisan ini dibuat, akan berlangsung partai final Piala Jenderal Sudirman, antara Mitra Kukar vs Semen Padang. Turnamen per turnamen yang digelar hanyalah sebuah tontonan yang jujur tidaklah mengenakkan untuk diperdebatkan karena tidak ada jalan akhir dari turnamen yang digelar, kenapa? Karena juaranya hanya menerima hadiah. Setelah itu? Yah sudah end.

Bandingkan apabila yang ada adalah kompetisi,  juara kompetisi akan diadu di level yang paling tinggi, hingga kualitas permainan klub akan berimbas pada kualitas permainan di Timnas Indonesia. Bicara tentang prestasi Timnas, maka kita akan sangat malu ketika Timnas kita diadu dengan timnas negara-negara di ASEAN, jangan dulu bicara Asia Tenggara, bahkan membandingkan diri kita dengan Jepang, Australia, apalagi dengan Korsel, akan jauh bagaikan langit dan bumi.

Mengerucut pada kisruh PSSI dan Kemenpora, seharusnya tidaklah begitu rumit dan berlarut-larut apabila Pemegang kekuasaan tertinggi di Negara ini mau dan bersedia memberikan waktu sedikit untuk menyelesaikan masalah yang seharusnya bukan masalah Nasional, kenapa? Karena PSSI sudah mau legowo dengan menuruti apa maunya Kemenpora, tinggal sekarang Kemenporanya yang bingung mau buat apa di dalam tubuh PSSI? Pak Presiden Jokowi seharusnya tinggal memberikan perintah tegas kepada Kemenpora agar segera menyelesaikan polemik yang ada ditubuh PSSI. Mencabut yang namanya Pembekuan, memberikan point-point kesepakatan antara PSSI dengan Kemenpora agar PSSI dan kompetisi yang dikelolanya mampu bersinergi dengan Pemerintah, juga memberikan target prestasi bagi Timnas per usia akan menyelesaikan permasalanh yang berlarut-larut ini.

Seharusnya kabinet Kerja yang dicanangkan pak Jokowi mampu membawa perubahan yang lebih baik disetiap sektor yang dikelolanya, bukan seperti sekarang, pekerjaan Kemenpora yang mengakibatkan roda kompetisi hancur dan target Timnas tidak ada karena PSSI tidak mampu bekerja menjadi sebuah ironi di negara penikmat sepakbola ini. Seharusnya kabinet kerja di sektor Kemenpora mampu meningkatkan taraf hidup para pemain-pemain sepakbola yang merupakan olahraga nomor satu di Indonesia. Namun sayang disayang, olahraga ini hanyalah sebatas permainan yang digemari bukan menjadi permainan olahraga yang mampu menghasilkan uang dan memberikan kebahagiaan, dengan gaji dan fulus yang ber-ratus-ratus juta.

Sangat miris ketika di benua lain, transfer window dibuka, para pemain muda maupun pemain kawakan seperti Messi, Ronaldo, Neymar, dll bergelimang uang. Uang ratusan juta dollar itu ibarat mainan bagi mereka, sementara di negeri sendiri, para pemain profesional tidak mampu menunjukkan kualitasnya karena minimnya kompetisi, harus banting setir menjadi tukang operator odong-odong, jualan baju bayi, beternak lele, bahkan ada yang menderita cedera karena kerasnya turnamen tarkam. Persis kek sinetron Preman Pensiun, pensiun dari dunia sepakbola demi sesuap nasi dan tetap mencari pekerjaan halal.

Reshufle Kabinet

Nah, sesudah selesainya Piala Jenderal Sudirman lalu apa target dari para pengelola Kompetisi tanah air ini? Kita akan kembali melihat kisruh PSSI dan Kemenpora di tahun yang baru ini, ingat Januari 2016 sudah mau habis, tetapi konflik di tubuh PSSI dan SepakBola Nasional kita belum berakhir. Sangat dibutuhkan warning dari Pak Presiden Jokowi kepada Menteri Pemuda dan Olahraga untuk segera menyelesaikan masalah ini. Pak Jokowi seharusnya memberikan tenggat waktu, jika Presiden kita ini adalah pecinta sepakbola dan ingin menjadikan putra terbaik negeri ini menjadi pemain-pemain yang bergelimang prestasi dan uang layaknya Leonel Messi yang baru saja meraih gelar Balon d’oor untuk kelima kalinya kepada Kemenpora dan PSSI untuk bersatu, islah, dan bekerjasama untuk memajukan dunia persepakbolaan di negeri ini, bukannya saling membawa egoisme masing-masing.

Sangat setuju ketika isu reshufle pada kabinet Kerja diberlakukan. Sangat setuju juga jika Kemenporanya diganti dengan Menteri yang lebih mumpuni, lebih mampu bekerja dengan hati, dan lebih mengerti akan urusan Olahraga dan Kepemudaan. Sehingga Kabinet Kerja yang ada ditubuh kabinet Pemerintahan lebih kuat dan lebih bermakna dengan program Kerja mereka. Bukan seperti sekarang ini, dalih untuk mengisi kekosongan, tetapi yang terjadi tetap ajang bisnis dengan membuat turnamen-turnamen yang mengeruk keuntungan.

Kita tinggal mendengar kembali, berapa keuntungan yang akan diperoleh oleh pihak penyelenggara setelah Turnamen Piala Jenderal Sudirman selesai dihelat? Yah sudahlah, sembari menunggu janji-janji berakhirnya konflik PSSI kontra Kemenpora, menunggu rampungnya LSI 2016 atau Turnamen 2016, dan yang pasti menunggu sanksi FIFA dicabut, bermimpi Timnas bermain di level Internasional, mari kita nikmati saja turnamen mengisi kekosongan. Ibarat pepatah mengatakan “Tidak ada Rotan, Akar-pun Jadilah..”. Salam Olahraga...!!       

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline