Lihat ke Halaman Asli

Agus Subali

Penikmat keheningan.

Drama Membangun Rumah Idaman, Tidak Sekadar Menumpuk Bata tapi juga Memupuk Rasa

Diperbarui: 23 Juli 2023   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memiliki rumah merupakan impian bagi siapa saja. Sumber: dok. pribadi

Rumah bukanlah terminal, bukan pula bandara atau stasiun. Apalagi halte. Untuk berhenti lalu pergi lagi. Tidak semacam itu. Rumah melampaui itu. Tempat berangkat dan tempat kembali. Tempat gema tangis dan tawa mendera penghuninya. Tempat raga dihangatkan, jiwa ditambatkan, untuk sekian lama. Di bawah atap rumahlah drama hidup Homo sapiens terjadi. Tempat perlindungan yang nyaman. Idealnya begitu.

Pada September 2012 saya menikah. Saya berusia 30-an. Istri umur 24 tahun. Saat di pelaminan, saya dan istri terlihat bahagia. Kenyataannya memang bahagia. Saat itu. Dan sekarang.

Satu tahap setelah sunat--sebagai laki-laki--sudah terlewati. Pertanyaan "kapan nikah?" sudah kedaluwarsa. Beban pertanyaan itu sudah hilang. Menguap bersama foto kami berdua di pelaminan.

Namun, tidak untuk teman akrab, candaan kapan menikah lagi terkadang masih ada. Aku tahu itu candaan. Itu sebuah pertanyaan beracun bagi telinga istri. "Aku tidak berbakat untuk melakukan hal sakral kedua," aku menjawabnya dengan lantang di depan istri. Saat ada istri. Ya, aku realistis dan setia. Dompetku yang lebih realistis.

Awal menikah, saya dan istri tinggal di rumah orangtua saya. Ada ruang yang dipisah tembok bersebelahan dengan rumah induk. Ukurannya 3m X 12m. Cukup lega untuk kami berdua. Seperti kereta api memanjang. Itu yang kami tempati sebagai rumah awal.

Untuk dapur kami buat terpisah dari ruang itu. Kamar mandi dan dapur kami usahakan tidak satu atap dengan orangtua. Itu semua untuk kenyamanan dan kedamaian kami semua. Itu menurut pikiranku. Istri juga menyetujuinya.

Sepandai-pandainya orang berkomunikasi terkadang ada salah pahamnya juga. Maklum lidah Asia Tenggara. Semakin sering berinteraksi, semakin besar peluang untuk terjadi konflik. Hubungan menantu dan mertua mengandung ketidakmenentuan. Di sinetron TV swasta menggambarkan itu. Konon seperti cuaca. Mendung sedikit bisa menciptakan petir menggelegar. Ya, alasan itu yang kami pertimbangkan.

Dapur dan kamar mandi punya potensi menjadi bibit perang dingin. Dapur dan kamar mandi tak ubahnya Austria. Negara pemicu Perang Dunia I. Aku tidak mau istri tidak nyaman dengan hal yang mungkin terjadi. Karena biasanya itulah yang terjadi--untungnya itu tidak terjadi.

Nekat Bangun Rumah

Pada Juni 2014 buah cinta kami lahir. Anak laki-laki yang sehat. Kebahagiaan membuncah. Rumah sempit kami jadi saksi keberhasilan kami sebagai organisme: berkembang biak. Hari-hari terlewati. Bayi mungil lucu itu tumbuh dengan cepat. Tak terasa detik demi detik membentuk sel-selnya menuju tahap kedewasaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline