Lihat ke Halaman Asli

Agus Subali

Penikmat keheningan.

Perang Surabaya 1945: Neraka di Ujung Timur Pulau Jawa bagi Tentara Inggris

Diperbarui: 20 November 2022   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pejuang Surabaya dengan senjata penangkis serangan udara saat menghadapi invasi Inggris 1945. Senjata tersebut hasil dari rampasan tentara Jepang. Sumber: National Geographic Indonesia

Minggu 28 Oktober 1945. Dini hari. Telepon di Istana Merdeka berdering berulang-ulang. Jam di dinding Istana menunjuk angka 02.00 saat itu. Pengawal pribadi Bung Karno--Tukimin-- mengangkatnya. Telepon dari Surabaya: ajudan Komandan Tentara Inggris. Tukimin bilang bahwa Presiden sedang istirahat, dan tidak bisa diganggu.

Suara di seberang mendesak, kondisi darurat dan mohon Presiden dibangunkan. Suara setengah memerintah, setengah memohon. Tidak ada pilihan. Pengawal pribadi  Presiden Soekarno dengan hati-hati mengetuk pintu kamar Bung Karno.

Setelah lima menit baru ada tanggapan. "Ya, ada apa?" Suara Bung Karno dari dalam. "Ada telepon dari ajudan Komandan Tentara Inggris, Pak. Katanya sangat penting". Dengan suara lirih setengah berbisik pengawal Bung Karno menjawab.

----

Bung Karno dengan enggan bangun. Di sampingnya Bu Fatma dan Guntur anak pertama Bung Karno yang belum genap setahun sedang tidur pulas.


Masih mengenakan piyama, Bung Karno  ke luar dari kamar tidur. Menuju meja telepon di ruang kerjanya. Dalam perbincangan sekitar 30 menitan diketahuilah bahwa Inggris meminta Bung Karno untuk ke Surabaya besok pagi. Bentrokan brutal terjadi di Surabaya. Inggris kewalahan. Bung Karno diminta meredakan ketegangan. Bung Karno menyanggupi.


Pikiran Bung Karno kacau saat itu. Tapi Tukimin dan Bu Fatma tidak pernah dikasih tahu kondisi darurat dini hari tersebut. Bung Karno hanya bilang "Aku akan pergi ke Surabaya dengan pesawat terbang tentara Inggris besok"

Inggris Ceroboh 

Kamis 25 Oktober 1945, enam ribu tentara Inggris dari Brigade Infantri India ke-49 mendarat di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pendaratan mereka tanpa perlawanan (unopposed) dari pejuang Republik. Rakyat memberi ruang tentara Inggris menjalankan tugasnya: melucuti tentara Jepang. Hanya itu. Tidak lebih.

Maka tidak perlu ada gangguan. Ataupun sambutan meriah. Rakyat bersikap acuh dan waspada. Sebagai tuan rumah yang baik, pemerintah Surabaya menyediakan akomodasi. Sebagai wakil Sekutu, Inggris hanya menjalankan mandat. Tidak akan turut campur urusan domestik Indonesia. 

Brigadir Mallaby memberi jaminan. Inggris tidak akan melucuti senjata orang-orang Surabaya. Pemimpin Indonesia mempercayai itu, tapi rakyat bersikap penuh kewaspadaan.

Kondisi panas kehadiran Inggris mulai dirasakan. Gesekan dengan rakyat mulai terjadi. Ada puluhan ribu senjata di tangan rakyat, sebagai hasil melucuti senjata Jepang. Inggris tidak memperkirakan Itu.

Tinggal menunggu waktu api itu membakar. Dan meledakkan semuanya. Sebagaimana kesaksian salah satu pasukan India yang berada dalam komando Inggris bernama P.R.S Mani,

"Sikap penduduk acuh tapi penuh kewaspadaan. Di dinding pelabuhan terpampang tulisan 'Azadi ya kunrezi', yang berarti Kemerdekaan atau Pertumpahan Darah. Bagi saya tulisan itu mendirikan bulu roma, karena saya menyadari akhirnya tiba saatnya saya berjumpa dengan takdir!"

Apa yang diperkirakan P.R.S Mani benar-benar terjadi. Pada Sabtu 27 Oktober 1945. Cuaca mendung. Tengah hari, di langit Surabaya--atas perintah Mayor Jenderal Hawthorn--pesawat Dacota Inggris meraung-raung menyebarkan ribuan pamflet yang isinya menuntut agar rakyat Surabaya menyerahkan senjatanya  sampai 29 Oktober. Dan diperpanjang sampai 31 Oktober. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline