Saat Mahatma Ghandi masih muda dan belum terkenal. Beliau disuruh untuk menasehati seorang anak yang gemar makan gula. Ibunya takut, kesehatan anak akan terganggu. Ghandi menyanggupi. Namun, berminggu-minggu kemudian Ghandi baru menepati janjinya. Sang ibu yang penasaran langsung bertanya "Kenapa Anda baru menasehati anak saya sekarang?" Gandi menjawab "Karena baru kemarin saya berhenti makan gula"
-----------
Cerita di atas adalah gambaran ideal seorang pemberi nasehat: apa yang diomongkon sinkron dengan apa yang dilakukan. Laku tutur selaras dengan laku tindakan. Orang Jawa menyebutnya Guru (digugu lan ditiru). Petuahnya didengarkan dan tingkah lakunya diikuti. Sejatinya begitulah seorang pendakwah meniti laku hidupnya.
Saat saya masih kecil, seorang guru ngaji di kampung tidak digaji atau dibayar. Dia jadi imam dari sholat lima waktu. Menjadi guru agama anak kampung selepas sholat magrib. Mengajari membaca Al-qur'an dan hafalan doa. Menjadi pemimpin doa dalam selamatan warga, atau menjadi penengah saat terjadi konflik. Bahkan kalau ada anak kecil sakit, orangtua akan meminta air yang sudah diberi doa kepada guru ngaji.
Kami memanggilnya Pak Yai. Semua orang hormat terhadap apa yang beliau nasehatkan. Beliau jauh dari gelimang harta atau kekuasaan. Beliau menjalani kehidupan selayaknya lainnya. Bertani dan juga menjadi buruh. Sama. Tidak berbeda dari masyarakat yang lain. Seingatku inilah salah satu pengabdian saat orang sudah berlabel guru ngaji: Sebagai panggilan hati untuk melayani!
Masyarakat sadar diri dengan peran seorang guru ngaji tersebut. Kalau punya kelebihan hasil panen, maka tanpa disuruh akan memberikan ke Pak Yai tersebut. Hubungan yang sangat indah. Mutualisme sosial terjalin, antara yang membimbing dan yang dibimbing. Kesatuan emosi seolah terjadi. Menyatunya antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Sampai sekarang gambaran saya tentang pendakwah ideal semacam itu. Hidupnya sebagai pengabdian untuk menebar kebaikan ke banyak orang yang mempercayainya. Hingga saat beliau meninggal, seluruh masyarakat kampung merasa kehilangan. Bukan saja kehilangan sumber keilmuan dalam agama tapi lebih pada kehilangan sosok yang dijadikan panutan.
Panggilan Spiritual
Menjadi pendakwah bukan hanya piawai dalam berkomunikasi: Mampu memberi inspirasi dalam tutur kata. Mendapat decak kagum dari yang mendengar. Atau tepukan yang meriah. Namun, harus punya tanggung jawab dalam keteladanan.