Butuh waktu untuk menentukan Kompasianer yang ingin saya ulas. Karena menurutku semua Kompasianer berbakat dan khas dari setiap tulisannya. Ada dua faktor yang menyebabkan orang susah memilih: Pertama saat tidak ada pilihan, dan yang kedua saat dihadapkan pada banyaknya pilihan dengan kwalitas sepadan.
Saya terkesan dengan candaan teman waktu SMA dulu. Menurutnya cowok yang punya "relasi multi cewek" atau sebaliknya, punya kecenderungan telat menikahnya. Memilih itu tidak gampang. Cobalah buktikan saat reuni SMA. Siapa yang telat menikah? Kebanyakan yang dulu sangat populer di sekolah. Banyak pilihan berakibat lebih kompleks dalam pertimbangan.
Akibatnya enggan melangkah ke depan. Menurut teman saya begitu. Entahlah, teori asal njeplak itu didapat dari mana. Meskipun dalam kenyataannya terkadang itu tidak salah. Mungkin ini hanya kasuistik, tidak berlaku secara umum. Anggap ini guyonan menjelang tahun baru.
Sudah tiga hari saya tahu ada informasi tentang Event Petasan dari Kompasiana. Tanggal 27 Desember, mengulas sosok Kompasianer yang berhasil masuk Kaleidoskop 2021. Dari semua yang terpampang, semua menunjukkan aura mistis yang sama: berkelas dan layak diulas. Itulah sebab kenapa memilih satu untuk diulas butuh perenungan, dan kontemplasi tingkat tinggi.
Namun, akhirnya saya memutuskan, memilih Pak Djulianto Susantio. Alasannya: Pertama saya kenal secara pribadi walaupun cuma lima hari. Yakni saat bersama mengikuti Tour Borobudur, sebagai Pemenang Blog Competition Sound Of Borobudur (SOB). Kedua, tulisannya yang khas: juru ungkap masa lalu. Seolah time traveller.
Beliau adalah arkeolog yang mampu menghadirkan tulisan khas menggugah dan juga unik. Dan saya suka dengan tema-tema sejarah. Bagiku masa lalu kelabu terasa aktual dan berwarna kalau yang menulis Beliau. Klop sudah. Beliau nangkring di urutan pertama yang saya pilih untuk saya ulas.
Saat dipertemukan di Kawasan Borobudur oleh panitia SOB, saya sering berkomunikasi dengan Beliau. Tentang banyak hal, terutama tentang Candi Borobudur. Hal yang saya ingat gairahnya yang luar biasa dengan dunia literasi.
Saat muda beliau seperti gila menulis. Bahkan sampai saat ini saat usianya sudah tidak lagi muda, tapi energi yang ada di dalamnya sungguh tak pantang kendor.
Karakter mahasiswa UI yang khas. Beliau adalah lulusan UI, Jurusan Arkeologi. Menurut Beliau, menulis adalah obat atau peningkat imun tubuh. Menurutku itu tidak salah. Menulis bisa menjadi terapi, keluar dari keruwetan hidup yang terkadang menekan dalam.
Cobalah lihat tulisan Beliau. Ulasannya selalu menarik, membuka cakrawala baru yang sebelumnya belum kita tahu. Mulai mata uang, candi sampai tokoh-tokoh masa lalu, bahkan sampai garis tangan. Beliau ulas dengan bahasa lugas tidak membosankan.